Sehabis menikmati Nasi Soto, saya siap untuk bertolak menuju Batu. Namun, sebelum itu, ada satu hal yang menggelitik perhatian saya. Tepat sebelum masuk ke peron keberangkatan penumpang, saya melihat ada seorang penjual cemilan ringan duduk sambil menyajikan makanan yang dia buat kepada para pelanggannya. Kakangmas bertubuh agak tambun tersebut membawa dua buah keranjang yang dipikul oleh satu tongkat. Dari yang saya amati, tampak jelas, Kangmas ini menjual dawet atau yang biasa dikenal sebagai cendol. Tapi, ungkapan cendol ini nggak sepenuhnya bener loch. Kenapa? Mari kita lihat!
Seiring dengan lapar mata dan perut yang belum terisi penuh. Kayaknya es dawet di siang hari yang nggak terlalu panas (Malang gitu loch!) akan lumayan menyejukkan hati dan jiwa (halah!). langsung saja, saya dan teman saya memesan es dawet kepada sang kangmas tersebut. Ternyata, kangmas tersebut bertanya balik, “mau uli atau -yang biasa kita kenal sebagai- cendol?”, “mau dikasih tapai atau ngga?”. Waduh, pertanyaan sulit nich! Maklum, kalap pengen nyoba jadi penasaran sama variannya. Akhirnya, biar nggak penasaran, teman saya memesan cendol (biasanya cendol kan warnanya hijau, tapi disini warnanya putih loch) lalu saya memesan uli dicampur dengan tapai. Hasilnya, sebenarnya sesuai dengan selera masing-masing yach. Tapi saya suka keduanya. Saya suka citarasa cendol yang tawar atau uli yang liat. Dipadu dengan tapai dan saus gula jawa plus santan, ahhh….apalagi sich yang kurang? Mari kita duduk dan menikmati es dawet ala Landungsari. Buat saya, es dawet ini enak dan bikin kangen. Rasa manisnya pas dan menarik untuk dicoba. Sayangnya, Cuma satu hal yang agak menganggu. Ukuran mangkoknya kelewat mini, sampai-sampai es dawet yang saya makan luber-luber dan tumpah kemana-mana. Sayang banget es dawet yang begini enak bisa tumpah. Biar kata si kangmas hanya berjualan di pinggir jalan, tapi pelanggannya banyak ternyata. Orang-orang datang silih berganti untuk menikmati dawet si kangmas yang memang enak ini. Memang, lidah bisa berbohong tapi kalau soal rasa, nggak mungkin dech. Lidah manusia tuh paling tahu mana barang yang enak. Nggak usah publikasi, semua datang berbondong-bondong untuk menikmati es dawet ini. Beberapa ibu-ibu bahkan meminta agar kangmas tersebut membungkus beberapa buah untuk dibawa pulang. Saya juga pengen sich tapi mengingat makannya yang agak repot di perjalanan nanti, saya urungkan niat dan sedikit menyesal karena terngiang-ngiang rasa enak dawet ini di lidah.
Satu keunggulan lainnya dari semua keunggulan yang saya sebutkan tadi, adalah soal harga. Anda tahu? Satu mangkok es dawet itu hanya dihargai Rp. 3.000 saja! Alamak! Murah sekali. Jadi pengen bikin selametan dengan hidangan penutup es dawet ini. Hihihi…Udah gitu, es dawetnya ini sehat dan bersih pula! Tau darimana? Abis saya makan es dawet ini, nggak ada rasa gatel atau kering pada kerongkongan saya. Bebas bahan pengawet! (halah!). Saya sich sangat merekomendasikan es dawet ini buat para pelancong yang akan berangkat ke Batu, Kediri atau Blitar ketika melewati Landungsari. Jangan lupa cobain es dawet ini dan rasakan enaknya kalau anda berkunjung ke Terminal Landungsari, Malang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wah mar nikmat banget kayaknya tuh es...nyam nyam....
ReplyDeletesegerrrr......
gue bahagia karena Rp. 3.000 dan enaknya Nas...hihihi...kalau enak tapi mahal atau murah tapi ga enak sih nggak akan sebahagia ini...hehehe :D
ReplyDeletewajib banged dicoba!
hm.... ngiler... >.< kayaknya enak banget.... :p hehe. Btw, fotonya ganteng mas...mantabh
ReplyDeleteiya...mas penjual es dawetnya emang ganteng koq :p
ReplyDeleteandalan pas moleh smk, th 2009
ReplyDeleteSekarang sudah tidak ada lagi yang jualan padahal pingin bangettt
ReplyDelete