Tepat sebelum Bapak Ojek yang akan mengantarkan saya keluar dari Coban Rondo, ternyata saya masih memiliki kurang lebih setengah jam lagi untuk bermain-main di areal wisata ini. Setelah puas dengan air terjun, saya mau mengisi perut saya dengan makan siang di areal pelataran parkir Air Terjun Coban Rondo. Mumpung udah siang juga, sekalian makan siang lach ceritanya.
Ada sekitar beberapa rumah makan berjejer berderet di pinggir areal pelataran parkir tersebut. Ketika saya mendekat, hampir semua ibu-ibu yang menjual makanan di warungnya masing-masing bergegas keluar rumah makan mereka dan melambai serta memanggil saya untuk masuk ke rumah makan mereka. Mereka semua serempak menawarkan produk makanan mereka. Yang saya heran, produk makanan mereka sama semua. Variasinya sedikit, hanya beda tipis-tipis namun hampir semua rumah makan tersebut menjual produk makanan yang sama persis, sebut saja nasi goreng, indomie, mie goreng, gado-gado, ayam goreng dan makanan sejenisnya yang bisa anda bayangkan. Bingung memilih, saya memilih satu rumah makan (tidak tepat disebut rumah makan karena terlalu terbuka dan cenderung menyerupai los saja). Yang makan memang tidak terlalu banyak namun tidak bisa dihitung dengan jari juga. Mungkin memang bukan waktu kunjungan wisata, sehingga beberapa botol minuman ringan tampak berselimut debu. Sangat jelas kesan yang diberikan bahwa tidak banyak turis yang datang kemari. Sedih, padahal air terjun ini cukup tertata rapih dan aksesnya bagus.
Di belakang rumah makan tersebut tampak suatu bagian yang disulap menjadi sejenis rumah tinggal sementara (atau permanen yach?) lengkap dengan kasur, televisi, selimut yang dibentangkan sehingga menyerupai gorden dan beberapa peralatan dapur. Saya nggak yakin sich kalau mereka tinggal disini ketika malam menjelang. Mungkin mereka hanya menggunakan tempat ini untuk peristirahatan di kala siang dan pulang ke rumahnya saat malam tiba. Kendaraan mereka juga banyak terparkir di tempat ini.
Ibu tersebut membiarkan saya bingung sejenak sebelum akhirnya saya bisa memutuskan menu apa yang hendak saya makan. Dar sekian banyak menu dengan nama ‘biasa’, akhirnya saya memesan nasi goreng mawut. Gleg. Mawut itu bukannya artinya kematian? Sang Ibu penjual makanan menjelaskan bahwa nasi goreng mawut adalah nasi goreng yang dicampur-campur dengan daging bakso, sosis dan banyak lainnya. Loch? Apa bedanya dengan nasi goreng gila yach? Mungkin kalau disini dinamakan mawut kali yach?
Sambil menunggu, ada ibu di sebelah yang sedang asik membakar jagung. Baunya yang kemana-mana membuat pertahanan saya rapuh. Saya berpikir, mungkin asik juga mencoba jagung sambil menunggu nasi goreng mawut selesai dimasak. Akhirnya, saya memesan Jagung Coban Rondo sambil menunggu nasinya selesai dimasak. Satu hal yang saya sangat ingat hingga kini, jagung bakar Coban Rondo adalah jagung bakar terenak yang pernah saya makan selama ini! Jagungnya benar-benar manis dan juicy serta lembut dan bakarannya pas, tidak terlalu banyak gosongnya. Bakaran yang pas membuat bulir jagungnya mengeluarkan cairan alaminya yang membuat jagung ini semakin mantap ketika dikunyah. Belum lagi bumbu yang dioleskan si ibu sangat pas terasa di mulut. Tidak terlalu asin, tidak terlalu tawar. Pas! Semuanya serba pas. Enak sekali. Saya jadi agak menyesal tadi memesan nasi. Kalau tahu begini, lebih baik saya memesan beberapa buah jagung saja untuk mengganjal perut. Kalau anda ke Coban Rondo, anda harus coba jagung bakarnya yang sangat enak sekali ini. Harganya pun murah, Rp. 3.000 per bonggolnya yang sudah dibakar. Dingin-dingin makan jagung bakar sangat menyenangkan loch.
akhirnya, nasi gorengnya selesai juga. Tidak jauh dari prediksi saya, nasi goreng ini adalah nasi goreng yang digoreng dengan bumbu saus tomat sehingga warnanya kemerahan kemudian potongan daging bakso dan sosis bertebaran disana sini. Entah mengapa, melihat penampilannya saja, saya merasa nasi goreng ini jomplang apabila dibandingkan dengan jagung bakar yang saya makan sebelumnya. Nasi gorengnya terlihat begitu kering.
Kesimpulan saya setelah memakan beberapa sendok nasi goreng tersebut adalah tidak ada yang spesial. Tidak ada satu hal apapun yang membuat saya teringat cukup jelas akan nasi goreng ini. Biasa saja. Hampir serupa dengan nasi goreng pada umumnya. Terlebih, nasi gorengnya terlalu kering sehingga saya harus minum beberapa kali untuk menghilangkan rasa kering tersebut. Walaupun rasanya masih masuk kategori enak, namun saya rasa saya akan lebih bergembira ria apabila saya memesan dua atau tiga buah bonggol jagung dibanding makan nasi goreng ini. Kalau anda pecinta nasi goreng, bolehlah coba nasi goreng ini dan silahkan review ulang pandangan saya. Harga nasi goreng ini Rp. 10.000, cukup mahal untuk kategori daerah/pedesaan namun wajar karena ini daerah wisata. Lagipula, dengan membeli nasi goreng ini saya membantu ibu-ibu warga lokal yang berualan disini toh? Walau demikian, ibu ini terlihat sangat menikmati hidupnya. Mobil sedan keluaran tahun lama diparkir di depan rumah makannya dan memutar lagu dangdut dari radio kencang-kencang. Ibu tersebut mengeraskan volume suaranya ketika ada lagu favoritnya berkumandang. Para pemuda setempat yang duduk-duduk di dekat warung tersebut langsung ramai berceloteh dan bernyanyi karena adanya lagu tersebut. Hidup si Ibu tampaknya sangat senang dan santai. Hehehe…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment