Usai mengisi penuh pundi-pundi di perut agar tidak kelaparan nanti di perjalanan, saya menyudahi kunjungan kuliner saya di Und Corner. Sambil menunggu agar makanan yang saya makan tersebut turun, saya berkunjung ke sebelah.
Tepat di sebelah Und Corner yang masih berada di dalam kompleks Hotel Tugu Malang, ada sebuah restoran yang merupakan bagian dari Hotel Tugu itu sendiri. Restoran ini bernama Restoran Melati (kebetulan Und Corner nggak memiliki WC jadi setiap tamu Und Corner yang ingin ke toilet, harus numpang di Restoran Melati). Penampilan fisiknya nggak terlalu mudah terlihat dari jalan. Anda harus benar-benar berada di depan restoran ini baru bisa mengetahui lokasi restoran ini. Mengapa? Wajar aja, sebagian besar halamannya tertutup oleh rerimbunan pohon-pohon besar yang menghijau sehingga dari samping, restoran ini tidak terlalu dapat terlihat. Sekilas saja, bangunan hotel ini akan mengingatkan kita pada arsitektur kolonialisme era penjajahan Belanda. Namun, kalau kita perhatikan lebih detail, restoran ini menyerap unsur ke-Jawa Timur-an dan Cina peranakan untuk dilebur menjadi satu dengan gaya kolonialisme sehingga menjadi satu kesatuan utuh berupa bangunan ini.
Saya sebenernya nggak terlalu yakin untuk memasuki bangunan ini. Namun, berkat anjuran dari mbak di Und Corner, akhirnya saya memberanikan diri masuk dan melihat-lihat interior restoran ini. Restoran tersebut memang wilayah publik, terlebih bagi anda yang merupakan konsumennya. Jadi, sambil melihat-lihat, saya menemukan bahwa unsur Cina peranakan lebih menonjol di bagian pintu masuk dan unsur ke-Jawa Timur-an lebih banyak terdapat di bagian tengah. Unsur Cina peranakan muncul pada lukisan dan ornamen hias yang digantung di area pintu masuk. Ornamen-ornamen tersebut selain berwujud naga atau burung, menampilkan pula detail tanaman yang rumit dan meliuk-liuk seperti Jawa pada daerah pesisiran utara. Lukisan yang dipajang menampilkan sosok seorang pembesar pada jaman kerajaan dengan struktur muka yang sama sekali akan disebut Cina. Masuk lebih dalam lagi, ada sebuah toko barang antik “Ban Lam” yang berada di sayap kanan restoran. Toko ini tidak terlalu lebar, tidak pula terlalu sempit. Namun, pencahayaan lampu ruangan yang didominasi warna merah dan banyak sekali jenis-jenis barang antik membuat saya sedikit jiper memasuki ruangan ini. Ruangan tersebut bisa dikatakan redup dan remang-remang. Pencahayaan yang ada hanyalah lampu merah yang tersebar di penjuru ruangan. Itu pun tidak dapat membuat ruangan ini tampak lebih cerah. Suram. Apalagi jenis-jenis barang antik yang sangat banyak jumlahnya, mencakup lukisan, guci, pot, alat musik, kursi, meja, ornamen gantung, buku, patung, pendupaan yang dapat dipastikan berusia cukup tua membuat saya jiper duluan. Kalau saya kebetulan berkunjung ke Ban Lam seorang diri, mungkin langkah saya akan berhenti pada pintu masuk dan kabur sejauh mungkin. Hehehe…
Selain menjual aneka hiasan rumah, Ban Lam juga menjual berbagai aksesoris wanita seperti emas dan berlian yang harganya menurut saya mahal karena hitungannya sudah berjuta-juta. Dalam keremangan ruangan tersebut, saya dan teman saya terkejut ketika tiba-tiba ada satu sosok yang mendekati kami tanpa suara dan berdiri di samping kami tanpa bersuara. Sosok tersebut adalah penjaga Ban Lam yang juga berfungsi sebagai pusat informasi apabila anda ingin bertanya mengenai barang-barang antik tersebut. Uniknya, tidak semua barang antik tersebut dijual. Sebagian dijual namun sebagian lagi hanya berfungsi sebagai pajangan saja. Lebih uniknya lagi, ada titik-titik dimana anda tidak boleh berfoto. Saya sendiri sudah nggak mau tahu alasannya sama sekali. Sudah dikasih bisa keluar hidup-hidup saja sudah bagus! Hehehe…Yang jelas, ada beberapa spot dimana kita boleh berfoto dan tidak. Untuk lebih jelasnya, sebaiknya tanyakan kepada penjaganya, di bagian mana saja saya boleh berfoto. Kalau anda nggak niat berfoto, ya mendingan gak usah tanya sama sekali sich. Mungkin penjelasan logisnya adalah ada sejumlah barang yang (mungkin) kalau kena lampu kilat akan kenapa-napa. Yah, kalau ada penjelasan lain di luar penjelasan logis ya mendingan saya nggak tahu saja dech. Hehehe…
Saya sendiri nggak mau berlama-lama di dalam Ban Lam. Selain suasananya memang suram dan gelap, saya tidak tertarik sama sekali dengan barang antik (apalagi kalau sudah ngomongin soal harga!). saya sempat keluar sebentar dan melihat-lihat Restoran Melati yang sebenarnya yang berada di sayap kiri bangunan ini. Nah, di restoran ini, suasana Jawa mendominasi mulai dari bangku, meja dan ornamen yang digunakan misalnya sepeda onthel khas petani. Restoran ini merupakan bagian dari Hotel Tugu Malang sehingga dapat dipastikan selalu ramai. Untuk keperluan makan pagi, para tamu pun biasanya akan berkunjung ke restoran ini. Saya nggak mencoba makanan di restoran ini. Alasan utamanya tahu donk kenapa? Selain saya sudah kenyang tadi makan di Und Corner, harga makanan di restoran bintang lima ini nggak murah. Hehehe…bisa habis budget jalan-jalan saya nantinya!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment