Satu-Satunya Museum Kereta Api Kuno Di Indonesia

Ini dia, ikon Kota Ambarawa yang paling terkenal. Walaupun tidak sepopuler Yogyakarta, Borobudur, atau Prambanan, namun Museum Kereta Api ini unik, menarik dan satu-satunya di Indonesia. Hal yang menjadikan museum ini unik lantaran teknologinya. Teknologi yang diusung oleh Museum kereta Api ini bukanlah teknologi terkini, melainkan teknologi kuno peninggalan penjajah Belanda pada waktu itu. Terletak di pusat kota Ambarawa, museum ini bisa dicapai dengan mudah baik dengan angkot maupun berjalan kaki. Dari depan Pasar Projo persis, carilah angkot yang berwarna kuning (upsss...seluruh angkot di Ambarawa berwarna kuning!) dan memiliki warna coklat di bagian bawahnya (nah, ini pembedanya). Kalau nggak yakin, sebut “museum” ketika menaiki angkot tersebut. Angkot tersebut akan memasuki Jalan Brigjen Sudiarto yang merupakan percabangan dari Jalan Jenderal Sudirman. Angkot yang anda naiki tidak akan melaju terus ke selatan menuju Yogyakarta. Nah, seharusnya anda akan diturunkan di Lapangan Pangsar Jenderal Sudirman. Dari lapangan ini, petunjuk mengenai kereta sudah terlihat cukup jelas. Anda cukup berjalan kurang lebih 100 meter untuk mencapai museum.
Jangan kuatir dan jangan kaget, Museum Kereta Api memang terletak di jalan yang tidak terlalu besar. Teruskanlah perjalanan anda melewati Jalan Pemuda. Di percabangan jalan, amati satu buah lokomotif besar yang terletak di tepi jalan. Itulah Jalan Stasiun. Lengkap dengan petunjuk arah untuk masuk ke museum, seharusnya anda tidak salah melangkah. Di sekitar pintu masuk Jalan Stasiun terdapat sejumlah delman dan pengendaranya yang beristirahat. Delman ini adalah delman wisata yang bisa mengantarkan wisatawan ke tempat-tempat menarik di seputaran Ambarawa sambil menyelami atmosfer tempo dulu. Walau tidak terlalu jauh jaraknya, boleh banget kalau anda mau mencoba naik delman untuk masuk ke dalam museum. Hitung-hitung membantu masyarakat sekitar. Hehehe. Masuklah terus ke jalanan kompleks yang asri dan tidak ramai ini sampai anda menemukan rel dan bangunan hanggar kereta. Selamat Datang di Museum Kereta Api Ambarawa!
Kesan pertama yang saya dapatkan ialah : museum ini tidak terawat. Kesan pertama terkadang menyesatkan. Walaupun gerbang utamanya tidak dijaga, rerumputan liar tumbuh di beberapa sudut jalanan aspal yang gompal terkena air hujan, sejumlah bahan material tertumpuk di sisi areal dan sejumlah gudang bekas yang tampak lusuh hadir di pandangan, secara mengejutkan, lokomotif-lokomotif tua yang dipamerkan dalam kondisi baik dan terawat. Memang, jalanan masuk menuju Museum Kereta Api ini sama sekali tidak mencerminkan kesan baik. Untuk turis yang tidak berkeyakinan kuat, pasti akan berbalik arah dan mengambil langkah seribu dech. Hehehe. Untungnya, saya datang pada siang hari dan keramaian masih tampak. Sejumlah anak-anak tampak bermain sepeda di halaman museum. Sejumlah anak-anak lainnya tampak duduk-duduk di sisi bangunan museum. Pada siang itu, tampak beberapa rombongan turis asing dengan diantar pemandu memasuki museum tersebut. “Lumayan”, pikir saya. Setidaknya, bersihnya ruangan dalam museum sudah cukup memberikan impresi yang baik kepada para tamu tersebut. Tepuk tangan untuk bapak-bapak pengelola museum ini!
Museum Kereta Api tidak menggunakan bangunan tertutup. Tampaknya, bangunan museum ini menggunakan stasiun lama yang dibangun pada tahun 1873. Bentuk hanggar mendominasi gedung museum ini. Kini, stasiun yang berdiri pada ketinggian 474,40 meter di atas permukaan laut ini sudah tidak beroperasi lagi. Satu-satunya kegiatan operasional yang masih dipertahankan adalah lori kereta wisata ke Rawa Pening dan Tuntang, serta tur kereta ke Bedono. Sayang, aktifitas ini hanya berlangsung pada saat akhir minggu saja, dimana jumlah pengunjung cukup banyak. Untuk jumlah pengunjung sedikit di hari biasa, mereka mengandalkan sistem carter. Tarifnya 2 juta rupiah untuk sekali jalan, namun mampu mengangkut puluhan orang. Kalau anda backpacker sendirian, sebaiknya melupakan ide ini atau lebih baik lagi, menunggu akhir pekan saja! Tiket masuk museum ini seharga Rp. 3.000, terlalu murah untuk perawatan sebuah bangunan Museum Kereta Api yang penuh dengan sejarah. Anak-anak hanya bayar Rp. 2.000 saja. Di halaman museum, sebelum kita masuk, terdapat sebuah lokomotif tua yang sudah dicat ulang sehingga berkesan rapih (namun tetap bernuansa jaman dahulu) dan menarik. Lokomotif tua ini berfungsi sebagai ikon Museum Kereta Api.
Nah, bangunan utama untuk memamerkan benda-benda perkeretaapian terketak di dalam hanggar tersebut. Bangunan ini bernama Willem I, mungkin ada hubungannya dengan Willem II yang berupa benteng yach? Menariknya, bangunannya tetap dipertahankan seperti dahulu walaupun perawatan tetap dilakukan seperti membersihkan noda dan mengecat ulang warna-warna yang telah pudar. Bangunan ini dibangun pada tahun 1873 (ada tulisan Anno 1873) sehingga usianya sudah satu abad lebih. Secara mengagumkan saya bisa berkata, bangunan ini masih berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik. Ruang pameran terbagi menjadi dua, bagian dalam gedung dan bagian halaman. Bagian dalam gedung Willem I berisi peralatan yang digunakan pada waktu beroperasinya stasiun pada tahun 1873 lalu. Pada bagian halaman, anda dapat melihat aneka jenis lokomotif tua yang dijejerkan di tanah lapang. Di sisi yang berseberangan dengan deretan lokomotif tua, terdapat dua jalur rel yang masih difungsikan untuk kegiatan pariwisata pada saat akhir pekan.
Gedung Willem I adalah bangunan yang bertugas merawat dan menyimpan aneka peralatan perkeretaapian pada jaman dahulu. Aneka onderdil kereta, telepon, mesin ketik, mesin pencetak tiket, potongan rel, hingga furnitur-furnitur yang digunakan pada jaman dahulu terpampang dan terpajang dengan rapih di dalam Gedung Willem I. Banyak sekali benda yang bisa kita lihat dan amati di tempat ini. bangunan ini bahkan memiliki satu ruang simulasi untuk lokomotif dan panel pengendali. Sayang, tamu nggak bisa masuk sembarangan ke ruang tersebut. Mungkin peralatannya cukup rapuh untuk disentuh atau digerakkan pengunjung, oleh sebab itu, peralatan ini semuanya terkunci. Nggak hanya itu saja, bagian-bagian dalam gedung ini terbagi-bagi menjadi ruang masinis, ruang staff, hingga ruang tunggu para tamu VIP dan tamu biasa serta toilet. Toiletnya sendiri masih menggunakan bahasa Belanda, misalnya Dames untuk wanita dan Heren untuk pria. Loket penjualan tiket pada jaman dahulu pun masih dibiarkan utuh seperti jaman dahulu. Loket terletak di setiap ujung Gedung Willem I ini.
Total lokomotif tua yang dipajang di seluruh penjuru halaman museum sebanyak 21 buah. Lokomotif-lokomotif ini rata-rata dibuat pada akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20.Karena merupakan lokomotif berteknologi kuno, maka rata-rata, lokomotif-lokomotif tersebut berbahan bakar kayu atau residu. Karena berteknologi kuno juga, kecepatan maksimal kereta ini sekitar 50 KM/jam hingga 90 KM/jam. Para lokomotif tua ini jelas sudah hanya menjadi benda pajangan saja, tanpa pernah dipergunakan lagi. Fisik dari lokomotif tua ini rata-rata masih bagus dan terawat walau beberapa bagiannya tampak jelas sangat termakan usia. Untunglah, pengecatan ulang tubuh lokomotif tua ini mampu membawa nuansa segar dan ketertarikan pengunjung museum. Jangan lupa menyemprotkan cairan anti serangga ke tubuh anda sebelum anda menjelajahi 21 lokomotif, terutama yang berada paling belakang, lokomotif 21, yang terletak cukup jauh dari gedung museum.
Sayang, sekali lagi sayang saya tidak berkunjung ke museum ini pada akhir pekan. Sayang, saya tidak bisa mencicipi rasa menaiki kereta ini menuju Rawa Pening, Tuntang atau Bedono. Buat anda yang berencana mengunjungi museum ini, coba selipkan jadwal kunjungan anda di akhir pekan. Walaupun mungkin akan ramai, setidaknya anda bisa mencoba menaiki kereta tua dengan kecepatan rendah dan romantisme jaman dahulu. Mau mencoba yang nggak ramai? Carter kereta bisa menjadi pilihan yang oke kalau anda berdana lebih. Yaaa...hitung-hitung membantu kelangsungan dana operasional museum juga kali yach? Hehehe.

15 komentar:

  1. keren! rasanya seperti perjalanan nostalgia kembali ke museum ambarawa. juni gini pohon-pohon lengkeng di museum lagi berbunga ya cak..

    ReplyDelete
  2. hmmm....aku gak terlalu ngamatin sich itu pohon apa. hihihi...gak berbuah sich pada waktu Bulan Maret :D pasti dirimu sudah pernah yach kesini? :)

    ReplyDelete
  3. iya, bulan juli kemarin. bunga lengkeng waktu itu udah tinggal dikit. tapi masih ada tawonnya. lucu loh liat tawon pada gendut2 tapi kok ya gesit banget

    ReplyDelete
  4. tambah-tambah info willem:
    willem i: stasiun
    willem ii: benteng
    willem iii: gambarnya dipakai untuk prangko pertama yang terbit di indonesia (hindia belanda ya zaman itu)

    ReplyDelete
  5. o ya cak..sawahlunto juga ada museum keretaapi loh. meski ga segede ambarawa. ada juga loko dari zaman baheula, kayak mak itam itu..hehe..namanya mang keren :)

    ReplyDelete
  6. tahun lalu don yach Cie? hehehe...dirimu malah seneng liat tawon yach? aku sich pasti langsung kaboooooorrrrr...ngacir. hehehe...thanks buat infonya yach :D tapi aku malah nggak ketemu Willem II di Kota Ambarawa-nya :( puter-puter, tanya2 masyarakat, nggak ada yang tahu. Kalau info tentang Willem III baru nich. hehe...makasih loch :D.

    Tentang Sawahlunto, sayang, waktu ke Ranah Minang kemarin, aku nggak mampir ke Sawahlunto. Dari Solok langsung ke Batusangkar, Sawahlunto lewat! hehehe...oh iya yach, ada juga Mak Itam disana :D yang aku denger, Mak Itam ini dibawa dari Ambarawa juga yach?

    ReplyDelete
  7. eh iya. tahun kemarin. lha sakjane yo wedi :P tapi berusaha menaklukkan rasa takut yang irasional itu. tawon sampai menyerang karena merasa personal space-nya terinvasi, gitu ya kira2 psikologisnya (tapi kita memberinya sebuah nama khusus: etologi). jadi yang penting kita bisa menjaga sebuah jarak yang tak membuat tawon merasa terancam atau terganggu, maka dunia akan damai, aman sentosa :D dan menyenangkan loh bisa memenangkan diri dari rasa takut itu. rasanya kok ya seperti jadi bisa lebih memahami makhluk lain dan mereka tidak lagi keliatannya seperti makhluk jahat yang akan melukai kita. malahan seperti sahabat loh. eeh...kok malah kesana-kemari :D

    ah iya, mak itam itu asalnya dari ambarawa ya. tapi katanya dulunya dari sawahlunto dibawa ke ambarawa..

    ReplyDelete
  8. hihihi...tapi terima kasih. berkat ilmunya Cie, saya jadi tahu Etologi itu apa :D baru denger loch. Hehehe.

    Soal Mak Itam ini, aku juga bingung nich. Jadi, Mak Itam dibolak balik gitu yach? Tapi penamaan Mak Itam ini sesuai dengan kaidah penamaan di Ranah Minang sana. Kalau di tanah Jawa, mungkin namanya Mbah Ireng atau Mas Ireng kali yach :D hehehe...

    ReplyDelete
  9. genius bro! ternyata dari nama kita bisa menelusuri aal-usul ya. sip :D

    ReplyDelete
  10. kalau dari Maluku, Nyong Hitam atau Sinyo Hitam...hihihi...

    *Sinyo Hitam, giginya putih, kalau tertawa manis sekali...:D*

    ReplyDelete
  11. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  12. Jadi pengen ngeliat langsung... sejak SMP sebenarnya pas ke museum perjuangan Diponegoro sudah pengen kesini. Tapi sayang bukan termasuk area yang dikunjungi.

    ReplyDelete
  13. agak keluar dari jalur rute wisata umum ya Pakde?

    monggo mampir ke museum ini. apalagi datangnya weekend, bisa main ke Tuntang via kereta uap ini loch. Merasakan romansa dan romantika jaman dahulu...hehehe

    ReplyDelete
  14. waduh..
    aq aja lum pernah naik kereta.
    jadi pingin liat yg kuno kayak apa

    ReplyDelete
  15. yang ini suasana romantisnya lebih banyak :D jalannya perlahan dan pemandangannya cantik. pastinya gak berjubel seperti kereta ekonomi lingkar Jakarta. Hehehe

    ReplyDelete