Tujuan selanjutnya adalah Gereja Santa Maria Mater Dolorosa. Gereja Katolik ini bisa dicapai dengan berjalan kaki dari Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Efata So’E. Dengan jarak sekitar 200 meter, capailah gereja ini dengan berjalan ke arah barat Jalan Soekarno. Sampai di perempatan besar (ada lampu penerang jalan cantik di tengah-tengah perempatan besar tersebut), ambilah jalan ke kiri. Nah, dari kiri ini, jalan bercabang lagi menjadi tiga arah. Ambil jalan terkiri yang ada. Sekitar 100 meter berjalan, Gereja Santa Maria Mater Dolorosa sudah dapat terlihat.
Sedikit berbeda dengan gereja lainnya, gereja ini terletak di Jalan Tompelo, jalan yang cukup sepi di So’E. Apabila anda melihat bangunan di sekeliling gereja, pasti anda akan setuju dengan pendapat bahwa daerah sekeliling ini cocok sekali untuk dijadikan tempat rekreasi, peristirahatan, melakukan kontemplasi, atau resort. Ya, ketiadaan bangunan tinggi di sekitar gereja, vegetasi yang kebanyakan berupa pohon pinus dan cemara, ditambah dengan setiap rumah yang ada disini memiliki kebun atau taman di halaman rumahnya yang dilengkapi dengan pagar hidup yang terpotong rapih, sangat mengingatkan saya akan suasana perumahan di era 1980an akhir. Kesunyian yang melingkupi tempat ini juga didukung oleh jarangnya kendaraan yang melintas di lokasi. Ketika saya berada disini, mungkin hanya dua atau tiga buah kendaraan yang lewat melintas. Tidak usah jauh-jauh mencari resort peristirahatan yang tenang, Jalan Tompelo ini sudah sangat cocok sekali.
Gereja Santa Maria Mater Dolorosa adalah sebuah gereja Katolik dengan bangunan berwarna kuning telur pucat dan gaya jadul. Gereja ini berada satu kompleks dengan biara, asrama dan koperasi Sint Vianney. Di muka jalan masuk gereja ini, terdapat sebuah air mancur yang entah tidak menyala atau mati sebab airnya tidak mengalir. Kolam air mancur tersebut yang bercat putih dan biru ksong tanpa adanya air di dalamnya. Bangunan utama gereja berada di belakang air mancur tersebut. Bangunan tersebut adalah bangunan lama dengan rongga ventilasi yang banyak di sekujur gedung. Patung Maria yang memangku Yesus tampak di atas pintu masuk dan di pucuk menara terdapat sebuah salib dan lonceng. Di sisi kiri gereja, terdapat sebuah bangunan yang tampaknya difungsikan sebagai biara, asrama dan koperasi Asrama Putra Sint Vianney. Bangunan yang menjadi satu tersebut sudah tampak tua dan kurang terawat. Sebagian besar dari bangunan tersebut tampak kotor, tertutup lumut dan catnya mengelupas. Pada beberapa bagian, sejumlah kaca retak dan pecah. Beberapa botol dan bungkus makanan tampak teronggok di sudut bangunan. Sayang, tidak ada seorang pun yang bertugas di gereja yang ada saat itu untuk saya ajak mengobrol tentang gereja ini. Hanya ada segerombolan anak-anak So’E yang sedang bermain dan sedikit ingin tahu apa yang saya lakukan di gereja tersebut.
Ada satu buah benda yang cukup mengundang bagi tamu yang datang ke gereja ini. Akhirnya, saya bisa bertemu dengan Lopo So’E. Ya, diantara gereja dan asrama, ada sebuah Lopo yang berdiri tegak. Sekilas, Lopo tersebut tampak seperti Lopo Timor dengan atapnya yang terbuat dari ijuk. Namun, ketika anda mencoba mendekat, maka anda bisa melihat bahwa bagian bawah Lopo tersebut disemen dan sekelilingnya dicat dengan waran kuning dan biru muda. Konsep Lopo yang pembangunannya tidak menggunakan paku sama sekali pun terlanggar. Anda bisa melihat bahwa piringan kayu yang biasanya terdapat di sekitar pucuk tiang-tiang penyangga dikaitkan dengan menggunakan sekrup. Kayu yang menjadi penyangga Lopo tersebut juga polos tanpa adanya hiasan ukiran ataupun Buni dan Flasu. Yah, bagaimanapun, bentuk ini tetap layak disebut sebagai Lopo atau Ume. Tampaknya Lopo di samping gereja ini digunakan sebagai tempat berkumpul bagi pada biarawan atau tamu untuk beristirahat atau berbincang-bincang. Sayang, di bagian bawah Lopo ini banyak terdapat sampah. Sayang juga, bentuk Lopo So’E tidak seperti yang saya bayangkan dengan ijuk yang gondrong menyentuh tanah. Kalau dibayangkan, tampaknya susah juga menjadikan Lopo ini tempat pertemuan dengan ijuk yang gondrong menyentuh tanah. Mungkin malah menjadi gelap dan jarang dipergunakan karena gondrong ijuknya.
Pertama, saya agak kesulitan menemukan nama dari gereja ini, namun setelah melihat ada sebuah kayu ukir di depan pohon yang ada di depan gereja, barulah saya menyadarinya. Ada tulisan “Mater Dolorosa” di ukiran kayu tersebut (tampaknya diambil dari kayu utuh yang sudah bertekstur) namun tidak disertai dengan sejarah gereja ini seperti tahun pembuatan dan lainnya. Hingga saat saya melangkahkan kaki keluar dari gereja ini, tidak tampak adanya petugas gereja yang berkeliaran di sekitar gereja. Saya mengakhiri kunjungan di gereja ini karena matahari beranjak semakin condong ke barat dan awan sekeliling sudah mulai gelap kembali.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment