Bagai jamur tumbuh di musim hujan, seusai hujan reda namun langit masih berawan tebal, orang-orang pun keluar dari persembunyian mereka dan berjalan di jalan raya. Tujuan saya sesudah saya mengisi energi di Rumah Makan SukaJadi adalah Pasar So’E. Pasar So’E terletak sekitar 500 meter arah utara Rumah Makan SukaJadi. Jalanan di sekitar yang saya lalui cukup unik. Mengingat So’E adalah kota bukit sehingga jalanan di dalam kotanya sendiri menikung, naik dan turun mengikuti kontur bukit tempat ia berada. Dari Rumah Makan SukaJadi, ikuti terus Jalan Soeharto ke arah utara hingga bertemu Masjid Agung Al Ikhlas So’E. Masjid yang berwarna putih dengan tiang menara yang tinggi dan kubah berwarna keperakan sangat mudah terlihat dari Jalan Soeharto. Anda tidak akan salah sampai masjid ini. Dari Masjid, anda akan bertemu percabangan jalan. Di tengah-tengah percabangan tersebut terdapat sebuah tugu. Tugu di tengah jalan ini kerap kali disebut sebagai Tugu Three In One oleh buku panduan perjalanan luar. Yang saya lihat, tugu tersebut adalah sebuah tangan kanan dengan posisi jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran dan tiga jari lainnya ke arah atas seperti ketiak orang menandakan OK. Sayangnya, selain kondisi tugu yang sudah bocel-bocel, tidak ada penanda tugu tersebut adalah tugu dengan maksud tertentu. Jadi, ya saya lewati tugu ini sambil mendaki jalanan mendaki terakhir sebelum sampai Pasar So’E
Yang pertama istimewa tentang Pasar So’E adalah pemandangannya. Jalan mendaki terakhir yang saya naiki ternyata cukup tinggi. Ketika sampai di titik tertinggi jalan tersebut, tampaklah wilayah perbukitan dan gunung di sekitar So’E yang masih hijau. Tampak sangat jelas bahwa So’E dikelilingi oleh perbukitan. Dari titik tertinggi ini, apabila anda melanjutkan ke arah utara, jalan yang anda lalui akan terus menurun. Sambil menurun-lah, saya bisa mengabadikan pemandangan perbukitan yang menjadi pemandangan latar Pasar So’E. Jangan lupa untuk berfoto-foto disini yach.
Sekembalinya menuju jalur utama perjalanan, anda akan dihadang oleh kandang babi di sebelah timur pasar. Sebelumnya, mohon maaf untuk rekan-rekan muslim yang membaca buku ini. Sudah disinggung sebelumnya, Timor adalah wilayah dengan mayoritas penduduk beragama nasrani sehingga konsumsi babi bukanlah hal yang haram bagi mereka. Saya sendiri melihat pula kerukunan beragama hadir di tempat ini, terbukti dengan sejumlah perempuan berjilbab yang melintas di pasar, dekat dengan kandang babi tersebut. Buat saya yang jarang sekali melihat babi hidup, pemandangan seperti ini justru sangat unik. Babi-babi tersebut hadir dalam berbagai warna seperti putih, hitam dan belang hitam putih. Semua babi tersebut terikat dan terlindung oleh terpal berwarna oranye dan hitam. Cukup unik melihat babi-babi tersebut yang justru lebih banyak diamnya daripada bergerak. Apabila tidak tidur-tiduran dengan tubuh mereka yang gembrot, mereka lebih banyak mengendus-endus tanah sambil makan lalu diam berdiri saja. Memang, identik sekali apabila membayangkan babi dengan kemalasan karena posisi mereka ketika tidur memang rebahan total. Entah, saya tidak dapat membayangkan bagaimana mereka melakukan itu dengan kaki mereka yang kecil. Apakah menekuk dan langsung ambruk atau ada cara lain. Saya tidak dapat membayangkannya. Jangan bayangkan babi disini seperti babi yang berwarna merah muda dan berukuran besar dan sangat gemuk seperti di film-film. Saya curiga, babi ini berasal dari keluarga yang berbeda dengan babi yang saya maksud tadi. Babi yang saya lihat disini sedikit mempunyai bulu dan cenderung menyerupai babi hutan namun tanpa taring yang menjadi ciri khas babi hutan. Babi sejenis inilah yang banyak diternakan atau dipelihara di seluruh Timor.
Puas melihat-lihat kandang babi, saya kembali ke jalur utama perjalanan So’E. Saya melewati daerah Pasar So’E, tepatnya dari jalan Soeharto berbelok ke arah barat, masuk Jalan Hayam Wuruk. Pasar So’E segera terlihat jelas di kejauhan karena bentuk atapnya yang unik dan khas So’E. Jalan Hayam Wuruk juga berkontur tidak rata dan menukik menuju pintu masuk pasar. Atap yang digunakan di atas gedung utama pasar sangat khas So’E sebab saya menemukan beberapa rumah atau gedung di kota ini memiliki bentuk atap yang khas dan tidak ditemukan tiruannya di wilayah lain. Atap tersebut adalah modifikasi bentuk dari atap Ume atau Lopo namun terbuat dari material seperti genteng atau plastik atau mika atau bahan lainnya selain daun. Material ini terlihat jelas buatan pabrik dan memiliki warna-warna mencolok. Untuk Pasar So’E, atapnya menggunakan genteng dengan warna coklat. Sedikit heran saja, bagaimana mereka bisa menyusun genteng dengan kemiringan bentuk atap yang sangat curam tersebut. Salut.
Pasar So’E sendiri adalah bangunan yang biasa saja terbuat dari bata. Apabila tidak ada hiasan atap yang unik tersebut, saya rasa pasar ini biasa-biasa saja dan tidak ada bedanya dengan pasar lainnya di Indonesia. Pasar ini memiliki sebuah bangunan utama yang terdiri atas dua tingkat. Bangunan lainnya yang tampaknya permanen dan semi permanen beridir di kiri dan kanan bangunan utamanya. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore dan cuaca cerah. Banyak dari toko maupun lapak sudah tutup dan kosong. Hanya sejumlah pedagang masih bertahan dan menjajakan dagangannya. Toko yang masih buka kebanyakan adalah toko material yang menjual produk plastik seperti sapu dan ember lalu peralatan bertukang seperti gunting dan gergaji, serta kabel listrik dan makanan ringan. Saya tidak menyempatkan diri masuk ke pasar karena aktifitas pasar tersebut sudah hampir selesai dan saya juga harus berpacu dengan waktu. Beberapa tukang ojek yang mangkal di depan pasar menyapa saya dalam bahasa Inggris. Maksudnya untuk menawarkan ojek mereka tapi saya menggeleng sambil tersenyum dan memandangi mereka dengan tulus. Pasar So’E adalah pasar harian karena sudah berdiri di atas bangunan permanen. Untuk pemngunjungi pasar ini, tidak ada hari tertentu yang harus anda kejar. Setiap hari, pasar ini selalu terbuka untuk kedatangan anda.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment