Tidak lama berselang, bus yang saya tumpangi masuk ke jalanan yang menikung sambil menurun. Saya mengenali jalan ini. Jalan ini adalah jalan Achmad Yani yang saya lintasi ketika baru saja meninggalkan Kota So’E dan kembali berhadapan dengan hutan lagi. Ya, selamat datang kembali di So’E. Hujan rintik-rintik yang turun di siang itu seolah menjadi ucapan selamat datang bagi saya di kota ini. Akibatnya, dingin yang digembar-gemborkan oleh teman saya pun tidak begitu terasa menyengat kulit.
So’E atau SoE atau Soe atau apapun cara penulisannya (lain tempat, lain pula penulisan nama kota ini) adalah ibukota Timor Tengah Selatan. Berbeda dengan daerah lainnya, wilayah ini dihuni oleh gunung-gunung tinggi seperti Gunung Mutis, gunung tertinggi di Timor Barat dan Gunung Molo yang letaknya lebih dekat dengan kota So’E daripada Gunung Mutis. Secara geografis, berkat adanya gunung dan perbukitan tersebut, So’E adalah ibukota kabupaten terdingin di wilayah Timor Barat. Pada puncak musim panas yang berlangsung dari Oktober hingga November, penduduk sekitar bahkan banyak yang menghindari mandi karena terlalu dingin. Minyak yang mereka simpan bahkan sampai membeku karena dinginnya dataran ini pada pagi hari di tengah musim panas. Sayang sekali, saya tiba di kota ini pada musim penghujan sehingga dinginnya kota So’E yang heboh dibicarakan itu tidak saya alami.
So’E adalah kota terbesar ketiga di Timor Barat setelah Kupang dan Atambua. Walaupun kota terbesar ketiga di Timor Barat, mengelilingi kota ini bisa dilakukan dalam waktu sehari dengan berjalan kaki. Karena memiliki iklim yang dingin, So’E pernah berjaya dengan apelnya. Sayang, beberapa tahun lalu, wabah tanaman apel mengganas di perkebunan sehingga buah menjadi rusak dan bibit pun terkena dampaknya. Apel So’E tidak ada lagi hingga hari ini. Walaupun mulai digalakkan sedikit demi sedikit perkebunan apel guna mengembalikan kejayaan apel So’E masa silam, pada saat kunjungan, saya tidak mendapati adanya satu pun apel So’E yang dijajakan. Satu-satunya tempat yang saya dapati menjual apel So’E hanyalah di Niki-Niki, itu pun hanya dua buah kios saja. Sayang sekali lagi sayang, saya nggak beli karena barang bawaan saya sudah sangat banyak.
Dengan tiba-tiba saya meminta kenek untuk memberhentikan mobil saya di So’E karena tidak ada tanda-tanda sama sekali kenek maupun supir akan memberhentikan busnya padahal saya telah berkata bahwa saya akan turun di So’E. “Berapa?” saya tanyakan kepada sang kenek dan ia menjawab “limaribu”. Rp. 5.000 adalah tarif yang saya bayarkan untuk perjalanan dari Niki-Niki menuju So’E, baik dengan bus maupun angkot kecil. Ya, sekali lagi saya terdampar di kota asing tanpa petunjuk arah dan hujan rintik-rintik menyambut saya. Beberapa tukang ojek namun tidak sebanyak tukang ojek di Kefa menyapa saya, menawarkan jasa ojeknya. Saya tersenyum dan menggeleng lemah karena ingin mencari tempat berteduh sambil membuka rencana perjalanan saya. Tidak ada tempat berteduh, akhirnya terpaksa saya berteduh di depan sebuah toko yang memiliki kanopi agak lebar. Tiga orang pemuda So’E berjalan melintasi saya sambil berangkulan satu sama lain.
Ya, saya benar. Saya benar-benar turun tepat di Jalan Diponegoro, jalan sebelum Achmad Yani ketika saya akan meninggalkan So’E menuju Kefa Menanu. Harusnya dari lokasi tempat saya berdiri ini, ada kantor informasi pariwisata So’E yang terlihat dengan jelas. Namun, beberapa kali bolak-balik dan mengelilingi area –masih dalam balutan gerimis- saya menyerah. Tidak ada lokasi atau apapun yang menunjukkan tanda-tanda sebuah kantor ada disana. Entah perasaan saya saja atau karena hujan gerimis yang turun. Saya merasa, bahwa kota ini jauh lebih sepi dibanding Kefa Menanu. Apakah saya berjalan di bagian kota yang salah? Atau memang So’E sesepi ini?
Saya memulai perjalanan saya dari Jalan Muhammad Hatta, perempatan antara Jalan Diponegoro, Jalan Achmad Yani, dan Jalan Nuri. Tujuan pertama saya adalah mencari tempat makan! Saya lapar. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang dan saya belum mengisi perut saya dengan suatu apapun. Saya tidak yakin apabila mengisi perut di Niki-Niki, makanan tersebut bisa terbawa dengan selamat sampai di perut saya sesampainya di So’E. Menghindari buang-buang makanan dan uang tentunya, saya memilih untuk menunda makan dan baru makan sesampainya di So’E. Lagipula, saya juga tidak yakin masakan Padang yang berminyak dan bersantan akan cocok menemani perjalanan saya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment