Dari So’E menuju Kupang, jarak yang harus bus tersebut tempuh sejauh 110 kilometer. Jarak tersebut bisa ditempuh dalam waktu 2.5 hingga 3 jam. Kondisi Jalan Raya Trans Timor yang akan dilewati oleh bus, berbeda dibanding dengan wilayah-wilayah sebelumnya. Timor Tengah Selatan adalah wilayah dataran tinggi yang paling tinggi di Timor Barat. Gunung-gunung tertinggi Timor barat terdapat di area ini seperti gunung Mutis (2427 meter) dan Gunung Molo (1636 meter). Akibatnya, jalan yang harus dilalui bukan lagi berbukit-bukit namun bergunung-gunung. Disini, anda bisa melihat jalan raya yang dibuat melingkar-lingkar memutari kaki gunung untuk menyebrang menuju ke kaki gunung berikutnya. Sampai ke kaki gunung berikutnya, jalanan kembali memutar sehingga kita bisa melihat ruas jalan di bawah maupun di atas kita, berbentuk menuruni lereng bukit sambil terus membentuk huruf S. Suasana hutan lebat akan anda dapatkan total disini, hampir serupa dengan ruas Kefa Menanu – Niki-Niki. Jalan trans tersebut sekana hanya dimiliki oleh bus yang sedang melintas. Sangat jarang menemukan pengendara di wilayah depan atau pengendara di bagian belakang. Untung, lagu-lagu pop Timor yang diputar terus menerus mampu memecah keheningan hutan. Saya tidak bisa membayangkan apabila malam hari harus melintasi jalan ini. Saya tidak meihat adanya penerangan jalan sama sekali. Bagaimana dengan Bus Kupang – Atambua yang bergerak malam hingga dini hari yach? Selain hutan lebat, jalan trans ini dilalui oleh sejumlah sungai. Saya sendiri menyaksikan sejumlah sungai besar maupun kecil, kering maupun berair memotong jalan trans di bagian bawah. Di wilayah perbatasan dengan Kupang, anda akan menyaksikan sungai terbesar di Pulau Timor, Sungai Mina yang dapat dilintasi dengan jembatan terpanjang di Pulau Timor. Di ruas ini anda juga akan banyak menemui sejumlah desa dan rumah adat masyarakat Timor, Lopo yang berada di tepi jalan trans, atau agak sedikit di bagian dalam. Bentuk atapnya yang gondrong sekedar mengingatkan kita bahwa kita ada di daerah selatan. Saya sendiri agak heran dan takjub dengan kegigihan mereka yang bisa tinggal di tengah-tengah hutan Timor.
Anehnya, begitu melewati Kota So’E dan berjumpa kembali dengan pepohonan, saya tidak merasakan mual atau apapun yang saya alami di ruas sebelumnya. Malahan, saya sangat santai menikmati perjalanan ini. Lagu pop Timor yang mengalun, pemandangan Lopo di tepi hutan, satu atau dua orang masyarakat Timor yang beraktifitas justru menjadi hiburan di kala saya melewati waktu tempuh yang cukup panjang tersebut. Memang, hujan turun di sejumlah ruas So’E sore itu sehingga suhu udara turun drastis dan cukup nyaman bagi saya berada di dalam bus. Entah apakah jalur ini lebih ramah terhadap pengunjung, saya tidak terlalu merasa pusing dan mual di ruas ini. Saya yang tadinya sudah takut dan bersugesti akan muntah, perlahan-lahan kembali normal dan ceria sambil menikmati pemandangan di pinggir jalan. Selama kurang lebih satu jam, saya dan ibu-ibu (mayoritas memang ibu-ibu yang membawa hasil perkebunannya untuk dibawa ke Kupang) terombang-ambing dalam ruas jalan tersebut, naik, turun, menyusuri lereng gunung, berhenti mengambil penumpang hingga kemudian tiba di Desa Batu Putih.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment