Seusai acara makan siang di perbatasan Mamasa bersama sop konro, mulailah saya melanjutkan perjalanan turun dari pinggir Mamasa menuju Polewali. Wilayah pinggir Polewali masih berupa pegunungan. Hawa sejuk masih menyelimuti kawasan ini. Mata saya masih dimanjakan dengan perbukitan hijau, birunya langit, dan deretan pohon kakao yang tumbuh di sepanjang jalan. Baru kali ini loh saya melihat pohon kakao yang tumbuh liar di tepi jalanan seperti ini. Walau bukan liar, tapi biasanya pohon kakao tumbuh di area kebun, bukan? Namun, saya tidak bisa berlama-lama menikmati pemandangan ini. lama-lama melihat pemandangan serupa bikin mengantuk juga. Saya kerap tertidur dan ketika terbangun, bus tiba di Kota Polewali yang terletak di pinggir pantai. Hawa panas dan keringat langsung mendera saya. Bus Discho Indah hanya berhenti satu kali di pool bus Discho Indah yang terdapat di Polewali. Disini, sejumlah penumpang turun dan naik. Bus pun penuh kembali. Bus berjalan melewati pinggir pantai Polewali dan Pinrang yang penuh sawah. Jalur yang dilalui hampir mirip dengan rute Sengkang-Pinrang-Polewali. Hanya saja, ketika hampir mencapai Pinrang, bus berbelok arah dan masuk ke dalam areal perkebunan. Jalanan yang dilalui sama sekali bukan jalan negara, tapi lebih mirip jalan areal perkebunan. Jalanan rusak berlubang-lubang dan berbatu-batu menyambut kami. Alih-alih hutan, saya melihat areal ladang jagung yang baru ditanami, dibakar dan meranggas. Apa iya ini jalur resmi Bus Discho Indah? Koq lewat jalur beginian sich? Serasa masuk hutan dech.
Sungai yang sangat besar dan tenang membelah areal perkebunan yang diselingi hutan. Cukup lama bus melewati daerah ini sehingga perjalanan terasa sangat lambat. Sinyal handphone pun malu-malu dan hanya sesekali menampakkan kehadirannya. Perjalanan melalui areal perkebunan ini terasa sangat lambat. Saya sudah tak sabar bertemu jalan raya besar! Ketika akhirnya bus keluar dan masuk ke dalam pemukiman, kami telah tiba di Cendana, Enrekang. Ternyata ini adalah jalan pintas dari Pinrang menuju Enrekang melewati daerah perkebunan alih-alih memutari Sidenreng dan Rappang. Saya nggak melihat Kota Pinrang dilewati oleh bus ini. Kayaknya bus memang memotong jalan lewat Patampanua, Pinrang, nggak melewati kota Pinrang. Dari Cendana, jalanan langsung menanjak melewati pinggir Gunung Rantemario. Bus pun bergerak masuk ke Kota Enrekang. Selepas kota, mulailah bus meliuk-liuk melewati wilayah pegunungan di Enrekang, mulai dari Cendana, Anggeraja, dan Alla. Suhu udara kembali menurun, sejuk khas pegunungan ditambah awan mendung yang mulai bergelayut menutupi langit. Bus melewati Kalosi, salah satu daerah pengumpul kopi Toraja yang sangat terkenal di Enrekang. Sayang, saya nggak mungkin berhenti untuk melihat-lihat kondisi desa dan kalau beruntung, bertemu dengan para pengumpul kopi. Di Alla, atau tepatnya Desa Mampu, bus berhenti di sebuah kios oleh-oleh. Salak Enrekang sangat terkenal di tempat ini. Banyak sekali kios menjual salak Ra’cak, dimana salah satunya di tempat ini. Salak-salak tersebut dijual dengan harga Rp. 5.000 sekilonya. Salak Ra’cak memiliki rasa sedikit masam manis namun legit sehingga biasanya orang ketagihan untuk terus menikmatinya. Ditambah dengan harganya yang murah, biasanya pengunjung berbondong-bondong membeli salak ini selain beberapa kue dan makanan ringan. Lumayan banget sich bus bisa berhenti lagi untuk mendinginkan *maaf* pantat yang kebas lantaran kelamaan duduk. Perhentian sebelumnya berada di perbatasan Mamasa degan Polewali, sudah cukup jauh. Masalahnya, saya sudah berada di tepi Toraja. Alih-alih beristirahat, saya lebih suka kalau perjalanan dikebut agar tiba di Toraja lebih awal. Tapi yach, maklum, namanya angkutan umum, mau nggak mau ya harus toleran dan ikut sang supir aja donk? Ya tidak? Waktu sudah cukup sore saat itu, sekitar pukul 4 sore. Masih panjang perjalanan menuju Rantepao, Tana Toraja. Bus pun melaju kembali.
Walaupun dari Desa Mampu, pintu Gerbang Tana Toraja bisa dicapai dalam waktu setengah jam atau kurang, namun perjalanan dari pintu gerbang Toraja hingga di Makale, ibukota Tana Toraja, masih membutuhkan waktu sekitar satu jam lamanya. Catet ya, Enrekang – Tana Toraja adalah jalur bebas macet. Jadi, anda bisa bayangkan betapa jauhnya perjalanan ini oleh bus yang hampir tidak pernah berjalan dalam kecepatan rendah. Dari Makale, bus membutuhkan waktu sekitar setengah jam ekstra untuk mencapai Rantepao. Sepanjang perjalanan masuk ke ibukota kabupaten, lagi-lagi mata saya dimanjakan oleh deretan Tongkonan dan Alang yang banyak ditemui di tepi jalan. Pemandangan ini jelas menarik lantaran sebelum memasuki gerbang Toraja, anda tidak akan bisa menjumpai Tongkonan sama sekali. Oh yah, kalau anda naik angkutan pribadi atau sewaan, sempatkan dech untuk berhenti di pintu gerbang Tana Toraja yang tertata dengan rapih. Pintu gerbang ini menjadi semacam ikon Tana Toraja dan cocok buat berfoto sebagai tanda resmi anda masuk Tana Toraja. Sayang, saya naik angkutan umum jadinya nggak bisa berhenti. Saya hanya bisa memandangan kepengen sambil mengiler saja melihat gerbang tersebut. Gerbang tersebut bercat putih, memiliki hiasan Tongkonan dan patung masyarakat Toraja lengkap dengan pakaian adat di pucuknya. Saat itu, sudah cukup malam ketika saya tiba di Tana Toraja. Tana Toraja masih sering diguyur hujan di bulan April ini. Sepanjang perjalanan, hujan selalu mengguyur perjalanan kami. Seringkali, hujan mereda namun kembali menderas. Hampir tidak bisa melihat apapun di luar sana terlebih lantaran matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Senja sudah merayap memeluk Tana Toraja. Saya tiba di Rantepao saat hari sudah benar-benar gelap. Sayang sekali.
Label:
Sulawesi Selatan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
senang membaca tulisannya..., kebetulan saya orang kalosi dan suami saya orang soppeng dan Anda sudah pernah mampir di kampung kami...:)
ReplyDeleteDear Ita, terima kasih sudah mampir dan membaca tulisan anda. Iya yach, jadi saya sudah pernah mampir ke Kalosi dan Soppeng donk hitungannya...hehehe...
ReplyDeleteIta mungkin punya blog?