Rumah asli masyarakat Jawa adalah Joglo. Untuk wilayah pesisir timur laut Jawa Tengah, arsitektur tumahnya dikatakan bergaya Kudus, perpaduan gaya China, Arab, India dan ditambah dengan ukir-ukiran khas Jepara. Namun, begitu menjejaki wilayah di ujung utara Kemujan, Karimunjawa yang notabene masuk dalam wilayah administrative Kabupaten Jepara, anda akan terkaget-kaget melihat rumah-rumah yang berdiri di tempat ini. Deretan rumah panggung bergaya Bugis model Balla Lompoa atau Bola Soba berdiri dalam bentuk lebih sederhana, dalam balutan warna warni tampak di kanan kiri jalan. Saya jadi ingat ketika menyusuri Watansoppeng atau Pinrang. Tapi ini di Karimunjawa. Koq bisa?
Orang Bugis sudah cukup terkenal sebagai pelaut ulung dari jaman dahulu kala. Mereka mengarungi lautan dengan perahu khas mereka Phinisi yang dibuat di Tanaberru, Bulukumba demi aktifitas niaga dan mencari ikan. Dalam kebudayaan mereka, terdapat pula istilah sompe’ atau yang diterjemahkan artinya adalah merantau. Nggak heran, banyak sekali komunitas Orang Bugis di Indonesia, bahkan seluruh dunia seperti di Afrika Selatan dan Singapura. Ini adalah komunitas Orang-Orang Bugis yang menetap dan berkarya di tempat perantauannya. Nggak terkecuali di Karimunjawa, mereka juga menetap di bagian utara Pulau Kemujan dan membentuk komunitasnya dengan mendirikan rumah-rumah adat khas Bugis.
Sebelum sampai di Kampung Bugis, saya agak sedikit tersasar. Kenapa? Selain petunjuk jalan yang sudah semakin minim, ada percabangan, dan lebar jalanan yang makin “dipangkas”. Selepas Bandara Dewadaru, memang ada percabangan jalan, kanan dan kiri. Yang kiri menuju Kampung Jawa (artinya komunitas Orang Jawa di Karimunjawa) dan Kampung Bugis di sebelah kanan. Untuk mengetahui arah jalan, karena saya sudah nggak yakin, akhirnya saya bertanya pada satu orang anak yang sedang menjaga warung sambil bermain dengan adik-adiknya. Ternyata, kami harus menyusuri jalan ke kanan yang agak mengkhawatirkan karena lebar jalannya semakin menyusut. Memang sich, di kanan dan kiri jalan kami melihat rumah-rumah dengan arsitektur Bugis, serasa di Sidenreng Rappang atau Barru. Hehehe. Sepenglihatan saya saja, tidak ada rumah adat Bugis yang besar seperti Balla Lompoa. Hampir semua rumah berukuran setara. Selain rumah arsitektur Bugis, ada juga rumah-rumah yang telah bersemen dan berbatu-batu serta tidak berdiri di atas panggung. Walaupun agak terpencil, namun tampaknya akses informasi tidak mengenal batasan. Antena parabola berdiri dengan tegak di beberapa sudut rumah. Yah, jalanan semakin menyempit dan akhirnya kami bertemu jalan buntu dengan rimbunan pepohonan di depan kami. Alhasil, kami harus bertanya kepada seorang bapak yang sedang duduk di rindangan pohon, dimana arah pantai. Maklum, lokasi Kampung Bugis yang kami piker sudah berada di ujung pulau, namun kami sangat sukar mendengarkan deburan ombak maupun desir angin laut dari tempat tersebut. Kemungkinannya, ya pantai masih cukup jauh.
Orang Bugis sudah cukup terkenal sebagai pelaut ulung dari jaman dahulu kala. Mereka mengarungi lautan dengan perahu khas mereka Phinisi yang dibuat di Tanaberru, Bulukumba demi aktifitas niaga dan mencari ikan. Dalam kebudayaan mereka, terdapat pula istilah sompe’ atau yang diterjemahkan artinya adalah merantau. Nggak heran, banyak sekali komunitas Orang Bugis di Indonesia, bahkan seluruh dunia seperti di Afrika Selatan dan Singapura. Ini adalah komunitas Orang-Orang Bugis yang menetap dan berkarya di tempat perantauannya. Nggak terkecuali di Karimunjawa, mereka juga menetap di bagian utara Pulau Kemujan dan membentuk komunitasnya dengan mendirikan rumah-rumah adat khas Bugis.
Sebelum sampai di Kampung Bugis, saya agak sedikit tersasar. Kenapa? Selain petunjuk jalan yang sudah semakin minim, ada percabangan, dan lebar jalanan yang makin “dipangkas”. Selepas Bandara Dewadaru, memang ada percabangan jalan, kanan dan kiri. Yang kiri menuju Kampung Jawa (artinya komunitas Orang Jawa di Karimunjawa) dan Kampung Bugis di sebelah kanan. Untuk mengetahui arah jalan, karena saya sudah nggak yakin, akhirnya saya bertanya pada satu orang anak yang sedang menjaga warung sambil bermain dengan adik-adiknya. Ternyata, kami harus menyusuri jalan ke kanan yang agak mengkhawatirkan karena lebar jalannya semakin menyusut. Memang sich, di kanan dan kiri jalan kami melihat rumah-rumah dengan arsitektur Bugis, serasa di Sidenreng Rappang atau Barru. Hehehe. Sepenglihatan saya saja, tidak ada rumah adat Bugis yang besar seperti Balla Lompoa. Hampir semua rumah berukuran setara. Selain rumah arsitektur Bugis, ada juga rumah-rumah yang telah bersemen dan berbatu-batu serta tidak berdiri di atas panggung. Walaupun agak terpencil, namun tampaknya akses informasi tidak mengenal batasan. Antena parabola berdiri dengan tegak di beberapa sudut rumah. Yah, jalanan semakin menyempit dan akhirnya kami bertemu jalan buntu dengan rimbunan pepohonan di depan kami. Alhasil, kami harus bertanya kepada seorang bapak yang sedang duduk di rindangan pohon, dimana arah pantai. Maklum, lokasi Kampung Bugis yang kami piker sudah berada di ujung pulau, namun kami sangat sukar mendengarkan deburan ombak maupun desir angin laut dari tempat tersebut. Kemungkinannya, ya pantai masih cukup jauh.
wah rumahnya lucu ... rumah panggung gitu ya, lantainya juga masih kayu dong ya ? adem tuh
ReplyDeletehihihi...saya nggak masuk ke dalamnya sih. tapi biasanya rumah kayu gt adem sih. hehehe
ReplyDeletePantainya karimun jawa itu bagus dan indah lho...
ReplyDeleteIyaa....hehehe...tunggu pas postingan Tanjung Gelam yaa :D
ReplyDeletewah,.maaf sdikit informasi,.tu rumah salah satunya punya keluarga q,.silakan bisa di konfirmasikan,.
ReplyDeleteHalo
ReplyDeletewah...terima kasih sudah berkunjung yaaa :)
Salam kenal :)