Pantai Aia Manih dan Batu Malin Kundang si Anak Durhaka

Berhubung Padang adalah kota pantai, kayaknya nggak susah dech mau nyari pantai di tempat ini. Segala macam pantai dengan berbagai macam fasilitas berjibun disini. Salah satu pantai yang menurut saya nggak boleh kelewatan untuk dikunjungi selama berada di Padang adalah Pantai Air Manis atau Pantai Aia Manih begitu penduduk lokal menyebutnya.Pantai Aia Manih ini terkenal dengan legenda Sumatera Barat yang paling terkenal. Apalagi kalau bukan legenda Malin Kundang yang tersohor ke seluruh nusantara dan menjadikan pembelajaran serta cerita untuk anak-anak yang kurang ajar dan durhaka sama orang tua. Pelajaran moral yang bagus menurut saya. Nah, legenda Malin Kundang itu bisa ditemui secara nyata di pantai ini. Batu Malin Kundang yang di dalam legenda tersebut menjadi batu sambil memohon ampun kepada emaknya ada di pantai ini. Karena itu juga, pantai ini lebih dikenal sebagai Pantai Malin Kundang.Ada baiknya, kita telusururi dulu jalan menuju ke pantai ini. Lokasinya deket banget sama Kota Padang. Kalau di Pantai Padang, anda melihat ada sebuah Gunung, Gunung Padang namanya yang terletak di sebuah tanjung di tepi pantai, nah, Pantai Aia Manih ini persis berada di balik gunung tersebut. Yah, walaupun secara harafiah, gunung ini bukan gunung namun merupakan bukit, tapi julukan gunung sudah terlanjur melekat sama gunung ini. Aneh juga kan melihat gunung menyembul di tepi pantai? Nah, menurut katanya dan ceritanya, dengan melintasi gunung ini dari Pantai Padang, kita bisa sampai Pantai Aia Manih dalam waktu 15 menit berjalan kaki. Saya sich nggak senekad itu. Gunung atau bukit ini masih cukup liar. Walaupun ketinggiannya hanya sekitar 400 meteran dari permukaan laut, tapi gunung ini cukup lebat dan rimbun pepohonannya. Kayaknya bukan jatahnya saya buat bernekad-nekad begitu dech. Mendingan serahkan sama ahlinya dan saya melintas gunung ini dengan kendaraan saja. Untungnya, jalanan aspal bagi kendaraan sudah ada yang melintasi gunung ini. Jalanannya cukup rapih dan mulus. Hanya saja, kita perlu sedikit memutar kota untuk bisa mencapai jalan masuk pantai ini. Di bagian belakang kota, ada jalan masuk yang tampak merupakan jalan satu-satunya saja. Jalanan yang melintasi gunung ini merupakan satu-satunya jalan masuk menuju Pantai Aia Manih dari Kota Padang. Saya nggak bisa membayangkan kalau-kalau ada apa-apa dengan jalan ini. Amit-amit banget.
Walaupun tidak terlalu tinggi, namun ternyata pengalaman mendaki gunung ini boleh dibilang suatu pengalaman juga. Kendaraan yang saya gunakan meraung keras ketika akan menanjak melintasi jalanan menuju pantai. Alhasil, ac dan radio pun dimatikan agar mobil bisa menanjak lebih powerful. Hehe...Yang jelas, seperti yang sudah saya ceritakan tadi, gunung yang tidak terlalu tinggi ini bener-bener rimbun sama tanaman dan pohon. Di kanan kiri, semak-semak tumbuh rapat dan langsung menimbulkan perasaan seperti berada di dalam hutan. Sayangnya, gunung ini nggak dingin. Wajar lah yach, lokasinya di pantai banget. Wajar banget kalau panas.
Sekitar lima belas menit mendaki, sampailah kita di puncak Gunung Padang ini. Penanda bagian puncak gunung ini adalah sebuah tempat peristirahatan yang disebut Villa Puncak. Pemiliknya adalah orang asing. Villa ini dijaga oleh anjing galak (ada tulisannya di depan pagarnya). Walau demikian, Villa Puncak ini menyewakan kamarnya kepada masyarakat umum, walaupun sudah pasti mudah ditebak, peminatnya kebanyakan kaum ekspatriat yang memang hobi bersatu dengan alam dan nggak berat membayar lebih untuk kenikmatan ekstra. Buat saya, mendingan sich nginep di tempat murah meriah dan dekat dengan tempat makanan dan toko serba ada. Yang penting murah dan dekat. Jadi duitnya bisa untuk biaya jalan-jalan lainnya.hehe...
Nah, sekitar sepuluh menit kemudian menuruni gunung, akhirnya sampai juga kami di daerah landai yang mulai tampak rumah-rumah di sekelilingnya. Ada seorang bule yang berjalan kaki sambil menenteng papan surfing dan mengucapkan salam kepada kami. Oh yach, Pantai Aia Manih memang terkenal dengan ombak surfingnya. Jadi, nggak heran banyak peselancar terutama bule yang menikmati ombak di pantai ini. Sebelum memasuki areal pantai, biasa dech, ada semacam loket semi permanen gitu yang dijaga sama anak muda setempat untuk biaya retribusi. Untuk sebuah mobil dan orang berlima, biaya retribusinya Rp. 10.000. Hm...saya nggak ngerti gimana ngitungnya. Apa satu orang Rp. 1.000 dan mobil Rp. 4.000 gitu kali yach? Atau sang Uda nggak dihitung jadi setiap orang atau mobil harganya Rp. 2.000. Sayang, beribu-ribu sayang, pantai ini dikelola secara swadaya tanpa arah sama sekali. Coba bayangin, Rp. 10.000 itu mau dikemanain dan diapain? Mau buat membangun pantai juga gak akan terlalu signifikan berimbas kayaknya. Pengunjungnya toh nggak terlalu banyak juga. Belum biaya ini itu untuk menata pantai dan kebersihan. Biayanya nggak kecil kan? Belum lagi membiayai anak-anak muda yang menjaga pos retribusi seadanya tersebut. Butuh biaya juga pastinya. Tapi, di sisi lain, kalau tiket kemahalan, pasti para wisatawan pada ogah kalau pantainya kurang berfasilitas. Dilema juga nich.
Ya sudah, koq jadi mikirin begituan yach? Hehehe...nah, dari tempat retribusi tadi, perjalanan masuk pantai masih lumayan jauh. Sekitar 10 menitan ekstra dech. Kendaraan yang kami tumpangi melintasi sawah dan kebun diantara rumah-rumah penduduk di kanan kiri. Nggak ada angkutan umum sama sekali yang melintas disini. Entah seberapa ribetnya saya bayangkan kalau nggak ada kendaraan namun ingin berkunjung ke Aia Manih ini. Tiba-tiba saja, ada sebuah plang nama Batu Malin Kundang dengan jarak 100 meteran ke arah pantai. Oh yach, kami sudah sangat dekat sekali dengan pantai tersebut.
Pantai Aia Manih adalah sebuah pantai dengan deretan pohon-pohon pinus merimbun di salah satu sisinya dan sisi lain terbuka sama sekali dan panas. Pasirnya berwarna kecoklatan. Batu-batu karang masif tampak menghiasi sisi sebelah yang berseberangan dengan pohon pinus tersebut. Untuk sampai ke Batu Malin Kundang, kami harus berjalan melintasi sebuah jembatan yang membelah sebuah sungai kecil yang agak kotor karena sampah dan berair sedikit. Sebelum sampai benar-benar pantai, kami dihadang dulu oleh para pedagang kerajinan kulit kerang, tiram, dan keong. Lumayan, melihat-lihat produk kerajinan begitu sedikit banyak membuat api semangat kreatifitas saya membuncah. Langsung muncul berbagai ide untuk membuat berbagai macam kerajinan tangan dari kulit-kulit hewan bercangkang kapur tersebut. Selain pedagang kerajinan kulit kerang, anda juga akan menemukan pedagang baju dan aksesoris yang bertuliskan Pantai Air Manis, Malin Kundang dan Sumatera Barat. Di sisi ujung, anda akan dikepung oleh warung-warung makan sebelum akhirnya sampai ke pantai yang sebenarnya.
Upsss...jangan senang dulu. Entah surut atau memang pantainya lebar, air lautnya masih jauh di ujung sana. Saya sama sekali nggak berminat berpanas-panas ria di siang hari itu. Jadi, saya nggak mengunjungi air laut di kejauhan tersebut. Cukup ngadem aja di pangkal pantai. Beruntungnya, di pangkal pantai ini banyak spot menarik untuk dilihat. Yang pertama adalah relief ukiran legenda Malin Kundang berwarna putih yang diukir pada sisi sebuah dinding. Relief yang berukuran panjang ini menceritakan setiap detail perkembangan hayat Malin Kundang mulai dari dilahirkan, hidup menderita, berkelana, jadi orang hingga berbuat durhaka pada ibunya dan dikutuk menjadi batu. Walaupun nggak ada tulisan sama sekali, namun saya percaya dengan melihat gambar-gambarnya saja, orang sudah bisa menafsirkan bagaimana cerita Malin Kundang ini. Saya cukup lama berada di relief ini, soalnya adem! Hehehe...
Nah, di depan relief ini lah tampak pecahan-pecahan kapal Malin Kundang yang telah membantu beserta dengan tuannya yang juga membantu dalam posisi bersungkur, memohon ampun. Pecahan tersebut membentang dari depan relief hingga agtak jauh ke arah pantai. Selain sisa kapal dan tubuh Malin Kundang, ada pula sejumlah tangga tali, tong-tong yang membatu juga. Kayaknya anda harus datang ke Pantai Aia Manih dan melihat bagaimana rupa dari kapal yang membatu ini. Beberapa orang mengatakan bahwa legenda tersebut asli, dan benda-benda ini sudah ada sejak jaman dahulu kala. Sementara itu, beberapa orang yang terlalu optimis mengatakan bahwa bekas batu tersebut adalah buatan manusia. Entah mana yang benar, mungkin anda bisa bantu saya dengan datang ke pantai ini dan menentukan mana versi yang benar?
Pantai Aia Manih (pantai dalam artian pasir bertemu air laut) sendiri berada cukup jauh dari pecahan batu-batu tersebut. Entah surut atau bagaimana, yang jelas, jarak yang cukup jauh dan ketiadaan rerimbunan membuat saya malas berjalan menghampiri tepi pantai tersebut. Saat itu pukul 11 siang dan langit hampir bersih, tanpa adanya awan sama sekali. Anda bisa bayangkan bagaimana panasnya saat itu kan? Alhasil, kegiatan yang menarik jadinya hanya berfoto-foto di beberapa spot di pantai itu yang cukup adem karena tertutupi rerimbunan pohon dan terlindung karang. Walaupun cukup sejuk, namun pada akhirnya kami cukup kecapaian bermain-main di pantai. Warung-warung yang berjajar di tepi pantai sangat membantu dalam hal ini. Misalnya saja, beberapa jenis minuman dingin dan air kelapa dingin harganya Rp. 5.000 saja. Nggak hanya minuman saja, makanan ringan seperti indomie dan popmie pun ada. Nggak takut lapar donk? Siang itu, entah memang bukan musim liburan kali yach, pengunjung yang tampak membawa kendaraan hanya rombongan kami saja. Beberapa pengunjung lain tampaknya adalah warga lokal yang datang dengan berjalan kaki saja. Di parkiran kendaraan, tidak tampak adanya kendaraan lain yang memarkirkan kendaraannya selain kami. Jangan lupa ada biaya retribusi parkiran ketika anda keluar sebesar Rp. 5.000. Secara magis dan ajaib serta tiba-tiba, ada penjaga parkiran yang muncul begitu kami hendak mengeluarkan kendaraan parkir. Bosen dengan pantai yang biasa-biasa aja? Mungkin pantai dengan legenda tertentu bisa menarik minat anda. Coba dech datang ke Pantai Aia Manih.

0 komentar:

Post a Comment