Lumpur Porong Sidoarjo, Lumpur Paling Terkenal se-Indonesia

Akhirnya, saya melihat juga lumpur yang sangat terkenal se-Indonesia ini. Semburan lumpur yang meluap dari perut bumi hasil pengeboran Lapindo Brantas dari tahun 2006 hingga kini tidak pernah berhenti. Entah sudah berapa banyak desa, kampung, sawah, toko yang ditenggelamkan oleh lumpur yang tidak pernah berhenti meluap walau sedetikpun. Hingga saat ini pun, proses pembayaran ganti ruginya masih tersendat, menyisakan kepedihan mendalam bagi warga Porong yang harta bendanya ditenggelamkan lumpur.
Terlepas dari itu semua, saya memang agak terkejut melihat lokasi lumpur Lapindo ini. Begitu keluar dari jalan tol yang menghubungkan Surabaya dengan Gempol, bus yang saya tumpangi langsung masuk ke jalan utama yang menghubungkan Sidoarjo dengan Malang. Disinilah pengalaman saya bermula.
Lokasi lumpur tersebut persis berada di sisi sebelah kiri jalan yang saya lalui. Suasana panas menyengat sangat terasa di tempat ini(banyak yang bilang, suasananya mirip sekali dengan film-film cowboy di padang pasir di Amerika sana). Memang, saat itu banyak kendaraan sedang tertumpuk macet di tempat ini. Selain kemacetan, ada yang bilang juga suhu panas yang dirasakan berasal dari lumpur yang terus menerus meluap. Buat anda yang nggak bisa membayangkan seperti apa bentuk lokasinya, saya coba jabarkan disini. Jadi, kalau anda naik kendaraan apapun, anda nggak akan bisa melihat luapan lumpurnya sama sekali. Yang akan anda lihat hanyalah tanggul-tanggul tinggi yang dibuat berundak-undak dengan lintasan kendaraan di bagian undakan tanggul tersebut (biasanya untuk perlintasan motor). Di balik tanggul-tanggul tersebutlah terdapat kolam lumpur yang berisi desa, rumah, sawah dan apapun yang ada di bawahnya. Kalau anda pernah mengunjungi kawah gunung berapi, anda pasti akan mencium bau belerang disana. Memang, bau-bauan di sekitar Porong sangatlah tajam dan mirip sekali dengan belerang. Namun, saya tidak bisa memastikan itu bau belerang atau bukan karena tidak terlalu mirip dengan apa yang saya cium di kawah. Dari kejauhan, tampak asap mengepul dari arah tanggul-tanggul tersebut. Mungkin dari sanalah bau-bauan tersebut berasal.
Yang tampak di sekeliling saya, sungguh merupakan sebuah ironi. Di salah satu sisi, ada sebuah spanduk besar bertuliskan “Wisata Lumpur Lapindo”. Tampak banyak gerombolan orang yang menaiki tangga dan berada di puncak tanggul untuk melihat Lumpur Lapindo yang terkenal itu. Sementara itu, di sisi lain, ada banyak plang-plang kayu yang dicat seadanya dan saya yakin ditulis dengan penuh kemarahan : “Tanah milik warga, selesaikan dulu pembayaran” dan kata-kata lainnya dengan nada sejenis. Terasa ironis sekali lumpur tersebut dijadikan objek wisata walau di sisi lain, ini adalah daya positif mengubah bencana menjadi berkah. Setiap orang yang datang dipungut retribusi masuk sebesar Rp. 10.000. Pengunjung wisata lumpur ini cukup banyak juga ternyata. Ada puluhan orang bergerombol di satu bagian tanggul dan banyak lainnya di bagian tanggul lainnya. Berhubung ukuran tanggulnya memang besar, maka titik pengamatan lumpur pun bisa dilakukan di banyak tempat. Banyak sekali rumah maupun bangunan yang berdempetan dengan sisi tanggul sudah tidak dihuni dan tampak terbengkalai. Ada sebuah rumah yang sudah terbengkalai dengan papan kayu bertengger di atapnya bertuliskan “Rumah Ini Tidak Dijual”. Deretan ruko dan los kosong tanpa adanya pintu berderet terbengkalai di sisi tanggul. Suasananya betul-betul seperti kota mati yang ditinggalkan penduduknya karena suatu hal. Namun, ini nyata terjadi di depan saya. Rumah maupun bangunan yang ditinggalkan tersebut disebabkan karena tanahnya sebagian besar amblas. Jadi, tidak dapat dihuni lagi. Di beberapa titik bahkan saya melihat sebuah bangunan terbengkalai yang atapnya cukup rendah, hampir mendekati tanah. Menakutkan.
Kebalikannya, pada beberapa sudut yang agak berjauhan dengan tanggul, rutinitas kehidupan masyarakat Porong masih berjalan seperti biasa walaupun saya yakin, hidup mereka juga berada dalam kekuatiran. Saya menemukan dealer motor, bank, sekolah, pasar dan rumah-rumah di sepanjang Jalan Raya Jenggol yang saya lalui. Di sisi seberang jalan, bahkan di seberang tanggul, rutinitas jalan juga masih berjalan seperti biasa. Bakso Porong dan Soto Porong tampanya menjadi makanan yang terkenal disini. Sayang, saya nggak sempet nyoba dan juga ga minat untuk turun dan mendaki tanggul demi melihat lumpur. Alasannya hanya satu : panasnya terlalu menyengat! Huhhh…bener-bener nggak enak rasanya. Padahal, di sisi seberang tanggul, saya melihat pemandangan indah Gunung Penanggungan dengan banyak desa yang berada di lerengnya. Terlalu kontras untuk disajikan dalam satu frame. Sekali lagi, panas dan macet jadinya saya males ngapa-ngapain. Hehehe…

5 komentar:

  1. benar2 menjadi lumpur yg bikin heboh senasional....gw jd sedih kalo ingat nasib warganya..ampe skrg msh terkatung-katung...:-(

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. iya, sedih....mereka masih nuntun pembayaran ganti rugi hak mereka hingga detik ini yang belum terlunaskan....:(

    ReplyDelete
  4. Sblm comment,mo nanya dl...Kayaknya ada comment yg dihapus tu...napa? Skrg commentnya : Wahhh sy jg gak minat awalnya liat2 wisata lumpur,selain panas,macet...jg malesss... Hehe.tapi plg dr Bali,pas mo nyari jalan tol kesby nya eh kelewat...biasa...nyasar hihihi. Jd muter balik,mana Jauh lg muternya...nah,karena sdh terlanjur...ya mampir aja.bayar 5rb,tp ternyata salah tmp...tmp kami berhenti gak keliatan lumpurnya,hrs naik ojek lg...iseng amat liat lumpur hrs naik ojek lg...jdnya pulang aja deh.liat kereta aja...hihihi.nah,pengalaman ini kelupaan dimasukin diblog...hehe... (advanture.wordpress.com )

    ReplyDelete
  5. hihihi...saya ngapus komen itu karena isinya menjelek2an pihak tertentu....saya nggak mau donk nanti saya kena UU ITE seperti Mbak Prita Mulyasari yang hingga kini masih diambangkan kasusnya...jadi, saya ganti dengan komen yg lebih beradab aja...:)

    hehehe....panasnya itu bikin ga betah yah? rasanya nyengat banget gitu yah....5000 sih murah yah? tapi mungkin 5rb juga karena lokasinya jauh dari lumpur kali yah? kalau yg pusat lumpurnya mungkin 10.000an kali yah?

    ReplyDelete