Dari Pare-Pare Menuju Enrekang

Inilah jalur yang disebut ‘winding road’ oleh Lonely Planet. Yang terjadi akhirnya harus terjadi, saya muntah tak henti-henti setelah saya terbangun dari tidur saya di Enrekang (menyebalkan!). Sebenarnya, malam itu saya berniat tidur di jalan untuk menghindari mabuk darat. Toh, situasi saat itu sudah malam sehingga tidak akan bisa melihat apa-apa juga. Saya sukses tidur di jalur Pangkajene – Pare-Pare karena jalannya lurus dan mulus. Setelah bus mengisi bensin di Pare-Pare, saya sukses tertidur kembali namun tak lama terbangun karena bus mulai berdisco dengan cantiknya di kegelapan malam di perbukitan wilayah Enrekang. Saya terbangun sambil merasakan dorongan kuat di perut saya. Ohh...no! walaupun pemandangan di luar gelap sama sekali, namun sedikit banyak saya bisa melihat deretan pepohonan gelap yang bercahaya kala disorot oleh lampu bus. Beberapa kali diantaranya, saya melihat bus lain atau mobil membunyikan klakson kala berpapasan dengan bus yang saya naiki. Walaupun gelap dan jalanannya sempit tapi para pengemudi tampaknya sangat mahir dalam membawa kendaraan di wilayah ini. Mereka meliukkan bus seperti sedang bermain saja. Detik pertama ia berbelok ke kiri kemudian sesaat meliuk ke kanan dan kemudian banting setir ke kiri untuk kemudian ke kanan lagi. Gimana nggak mau muntah kalau kayak gini? Di luar sana, tidak tampak adanya satu rumah pun. Sesekali hanya dijumpai sebuah pondok kecil yang tampaknya dihuni oleh warga desa ataupun sekedar dijadikan kios. Pondok-pondok tersebut tidak nampak berpenghuni dan bercahaya lampu. Walau demikian, saya kerap berjumpa dengan beberapa buah kios pernjualan makanan dan oleh-oleh yang terang disinari cahaya lampu, masih buka, namun tiada yang menjaga. Heran juga saya melihatnya. Yang mau beli di kios tersebut pastinya bukan orang normal kecuali bus-bus yang melintas berhenti dan menurunkan penumpangnya disana. Habis, kios tersebut terletak sendiri di tengah-tengah gunung. Siapa yang nggak heran melihat keberadaannya? Bisa jadi, penjualnya pun tidur dan baru bangun begitu ada pembeli yang memanggil.
Di kejauhan, cahaya lampu tidak tampak sama sekali. Pohon-pohon besar seakan-akan membentuk kanopi sehingga saya merasakan bahwa bus memasuki hutan lebat. Cahaya bulan sabit yang sedari tadi menerangi sepintas saja pun tidak tampak lagi. Sekilas, saya melihat kabut melayang menjauh begitu tersinari oleh cahaya lampu. Bayangan rerimbunan pohon terlihat agak menyeramkan begitu tersinari oleh cahaya seadanya dari lampu sorot bus.
Akhirnya, setelah meminum tolak angin, mengoleskan minyak kayu putih, tidak dapat tidur karena pusing dan kedinginan beku (bodohnya, saya tidak memakai pakaian yang lebih tebal atau membawa selimut) dan menahan-nahan dorongan tersebut, saya sukses (maaf) muntah, beberapa kali dengan hebatnya. Perut saya sampai sakit karena setelah semua isinya keluar, saya masih terus merasakan dorongan muntah tersebut. Benar-benar sensasi yang tidak menyenangkan. Rasa ingin tidur tergantikan dengan pusing akibat jalan yang meliuk-liuk. Saya hampir tidak dapat tidur apalagi tubuh ini tidak terlalu lelah (mungkin masih semangat karena ingin ke Toraja). Untungnya, entah karena perut sudah kosong atau apa, saya sempat terlelap sebentar dan melupakan soal mual ini. Dan kemudian, bus berhenti di salah satu kios oleh-oleh di Taman Nasional Bamba Puang.
Berhubung Toraja adalah daerah yang dikelilingi pegunungan dan bukit, maka wajar jalan masuknya harus melalui jalur berliku-liku seperti ini. Agak menyakitkan untuk ‘penggemar’ muntah seperti saya (ironis, penggemar mabuk darat dan sekaligus penggila perjalanan) walau di sisi lain keuntungan bagi penumpang biasa yang kebal dari mual karena bisa melihat pemandangan menakjubkan. Buat yang berdana lebih, naik pesawat terbang kecil bisa menjadi pilihan karena pemandangannya lebih dramatis ketika akan memasuki wilayah Rantetayo. Kalau anda penggemar mabuk udara juga? Wah, sudahlah, nyerah saja, saya tidak memiliki opsi apapun lagi. Hehehe..

0 komentar:

Post a Comment