Tidak terlalu jauh dari Istana Pagaruyuang, mungkin sekitar 1 kilometer arah balik ke Kota Batusangkar, masih di desa yang sama, Desa Silinduang Bulan, ada sebuah rumah adat yang berukuran lebih kecil namun soal keindahan, tidak bisa diremehkan. Istana Silinduang Bulan namanya. Secara fisik, istana ini lebih kecil dari Istana Pagaruyuang. Namun berhubung Istana Pagaruyuang sudah habis terbakar dan sedang tahap renovasi, istana ini menjadi sangat menarik untuk dikunjungi dan berfoto tentunya. Istana ini berwarna dasar merah dan hitam. Menarik melihat warna keseluruhan istana ini yang tampaknya dicat manual dengan tangan. Seluruh bagian dari rumah, termasuk lumbung yang berada di kiri dan kanan depan rumah terukir manis dengan pola-pola. Pola-pola tersebut lah yang diwarnai dengan pewarna. Sungguh kagum rasanya membayangkan orang mengerjakan ini dengan telaten dan mendetail hingga seperti ini. Halaman depan istana ini ditanami dengan tanaman yang berdaun merah dan kuning, cukup serasi dengan warna istana ini. Di beberapa sudut istana bahkan terdapat sarang lebah berukuran super ekstra besar yang pastinya berisi ribuan lebah yang siap ngamuk kalau diganggu. Segerombolan lebah beterbangan di sekitar sarang tersebut. Yang unik, di depan anjungan utama rumah terdapat sebuah kepala kerbau dari kayu.Sudah tahu donk arti kerbau bagi masyarakat Minang? Di sisi lain istana terdapat sebuah bendi yang cukup tua yang sudah jelas tidak dipergunakan untuk menarik penumpang lagi. Namun, tetap, bagi wisatawan, objek seperti ini cukup langka dan unik. Harus diabadikan.
Di depan Istana Silinduang Bulan ini terdapat sebuah prasasti batu modern yang menjelaskan tentang perihal pendirian istana ini. Secara singkat, saya mencoba menjelaskan dari prasasti yang warnanya sudah mulai pudar ini. Rumah Gadang Tuan Gadih Pagaruyung Istano Silinduang Bulan yang anda lihat ini terbangun pada 23 Desember 1989 (selesainya yach). Istano ini dibangun untuk menggantikan Istana Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung yang terbakar pada tahun 1961. Di bawahnya terdapat ahli waris dan keturunan serta Gubernur Sumatera Barat pada masa itu. Jadi jelas, usia istana ini belum terlalu tua dibandingkan dengan kerajaan Minangkabau yang sudah berabad-abad umurnya. Sebagai perbandingan, di Desa Balimbiang banyak rumah tua yang berusia 300 tahunan. Di Payakumbuh bahkan ada Rumah Gadang Koto Nan Ampek yang berusia 500 tahunan yang sayangnya, tidak sempat saya sambangi ketika saya main ke Ranah Minang ini.
Pada siang itu (mungkin kebetulan hari jum’at), istana tersebut sepi dari pengunjung dan tidak tampak dibuka untuk umum juga. Pintu tangga masuk menuju istana ditutup dan dikunci sehingga saya dan rekan hanya bisa berkeliaran di depan istana saja. Selain kami, hanya ada sepadang turis asing yang asik berfoto dengan kamera mereka.
Seperti layaknya di Istana Basa Pagaruyung. Panas matahari menyengat membakar kulit kami. Alhasil, kami tidak bisa berlama-lama berkeliaran di halaman depan istana. Beberapa pedagang yang menjajakan makanan serupa seperti di Istana Pagarruyung juga tampak berteduh di bawah lumbung agar tidak terpanggang. Beruntung, lumbung memiliki kaki tinggi sehingga bagian bawahnya dapat digunakan untuk berteduh dari sengatan matahari. Penjual tersebut cukup sering memaksa saya dan rekan-rekan untuk membeli barang dagangan mereka. Namun, saya masih bisa mentolerir karena mereka tidak terus-menerus memaksa saya dan rekan untuk membeli barang dagangannya. Mereka hanya menawarkan sekali dan kemudian mempertegasnya (mungkin ini bisa dikira memaksa). Apabila kita tidak benar-benar tertarik, mereka segera pergi untuk berteduh. Selain pedagang sawo (yang paling dominan), ada juga Uda pedagang keris dan badik yang asli memang senjata tajam. Kayanknya, kalau mau lama-lama di istana ini, jangan berkeliaran di saat siang hari dech. Panas matahari yang menyengat pastinya akan segera membuat ketahanan fisik kita menurun. Coba dech adem-ademan di bagian bawah istana yang cukup teduh sebelum foto-foto lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment