Luruik Bajalan Mancari Itiak Lado Mudo Di Dasar Ngarai Sianouk

Bukan rahasia umum lagi kalau Bukittinggi itu surganya makanan. Memang sich, hampir seluruh daratan Minang adalah surganya makanan. Tapi di Bukittinggi, makanan melimpah ruah jenisnya! Sabar...jangan terbit air liurnya dulu yach. Kita telusuri dulu apa aja itu.
Banyak banget makanan di Bukittinggi. Maklum, semenjak kegiatan wisata kuliner naik daun, rasanya perut ini jadi minta perhatian lebih. Haha.. Rasanya, nggak bakalan cukup dech keliling Bukittinggi selama satu atau dua hari kalau ingin memuaskan nafsu lidah dan perut akan kuliner Bukittinggi. Bisa-bisa, seminggu baru kita menyelesaikan kuliner di Bukittinggi ini, sudah termasuk sarapan dan makan malam tentunya.
Oke, makanan di Bukittinggi itu sangat banyak dan beragam. Nich, saya sebutin : Nasi Kapau yang sangat khas Bukittinggi, Sate Khas Bukittinggi, Jus Alpukat Bukittinggi, Gulai Pakis yang terbuat dari pucuk daun pakis muda, Teh Talua, teh yang dicampur telur dan diaduk dengan tangan dalam kecepatan tinggi, Bika Simaryana, sejenis Serabi, Karipiak Sanjai yang memang hanya khas Bukittinggi, Lapek Bugih yang mirip dengan kue Bugis dan Lamang Tapai yang tentunya akan mengingatkan kita pada Tapai Uli. Itu baru yang mendominasi. Kalau anda mau menelusuri lebih lanjut, pasti dech banyak banget kuliner unik-unik yang bisa ditemukan.
Nah, khusus untuk makan siang kali ini, bolehlah kita mencoba Itiak Lado Mudo. Itiak disini artinya bebek, Lado artinya cabai dan Mudo artinya muda atau hijau jadinya Secara gamblang, Itiak Lado Mudo artinya bebek cabai hijau. Duh, saya nulis artikelnya aja sambil nelen ludah berkali-kali. Tempat makan Itiak Lado Mudo ini ada di dasar Ngarai Sianouk. Gak jauh setelah melewati Taman Panorama dari arah Jam Gadang, ada belokan jalan ke arah kiri. Nah, jalanan ini akan terus menurun terus dan berwujud seperti lorong dengan kanopi pepohonan tebal yang tumbuh di lereng lembah. Seakan-akan masuk ke dalam lorong apa gitu dech. Nah, sambil turun, di sisi kiri kita ada sejumlah pintu kerangkeng berjeruji. Di dalamnya...gelap abis! Hiasan di sekeliling pintu adalah diorama pembantaian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Seram bener dech! Temen-temen seperjuanganku aja sampe diam seribu bahasa. Gak berani ngomong apapun. Yang ada hanya bisik-bisik bergumam “untung gak masuk kesana!”. Sekeliling lubang gelap berpintu jeruji itu ditumbuhi semak-semak dan akar serta sulur tanaman. Suasana semakin mencekam berkat kehadiran tanaman-tanaman tersebut. Pintunya sendiri ada banyak banget. Selama proses turun, kita menjumpai beberapa buah pintu yang masih merupakan terusan dari Lubang Jepang di atas sana. Lubang-lubang ini katanya dahulu dipakai sebagai tempat pembantaian manusia atau lebih dikenal sebagai “human kitchen”. Manusia yang dibantai dan dipotong-potong tersebut, hasil mutilasinya akan digelindingkan ke bawah lubang dan bermuara ke dasar ngarai yang kita lewati ini. Entah, terbayang atau tidak, tapi suasana gelap dan sunyi di tempat yang kita lewati memang mendukung penuh cerita tersebut. Saya membayangkan sebelum ada jalanan aspal yang mulus yang saya lewati, potongan-potongan tubuh manusia tersebut bergelimpangan berjatuhan dari pintu-pintu dan lubang-lubang di dinding ngarai tersebut. Bukan pemandangan yang bikin nafsu makan pokoknya. Tiba-tiba jadi kenyang...hahaha.
Sekarang, berpuluh-puluh tahun semenjak kejadian tersebut, jalanan aspal curam telah terbentuk di sisi dinding ngarai. Saya dan rekan-rekan melintasi di atasnya. Konon, dahulu waktu pembuatan jalan yang masih dalam hitungan dasawarsa, banyak ditemukan sisa tulang belulang di dasar ngarai. Sisa tulang belulang tersebut tentu sudah dibersihkan dan didoakan agar mereka diterima di sisiNya dan tidak berkelana di bumi ini lagi. Nah, pelintasan tersebut, selain mampu membangkitkan cerita seram dan menakutkan (berkat suasananya yang emang gelap juga), ternyata menyimpan potensi kecantikan alam Bukittinggi. Ngarai yang akan kita tuju terletak di sebelah sisi kanan, cantik untuk dilihat. Sayangnya, nggak bisa berhenti di sisi jalan dan berfoto-foto. Selain jalanannya memang tidak terlalu lebar (hanya bisa dimuati dua kendaraan saja), memangnya anda yakin mau foto foto di tempat gelap dekat Lubang jepang tersebut? Hihihi...Sampai di dasar ngarai, akhirnya saya melihat plangnya. Kedai Nasi Gulai Itiak Lado Mudo Ngarai. Rumah makan ini berlatar pemandangan ngarai yang masif. Hebat. Bravo. Indah. Mantep. Cakeph. Tempatnya memang hanya sebuah rumah makan sederhana khas daerah yang pasti anda cukup kenali. Namun, deretan mobil-mobil mewah memadati halaman depan rumah makan yang tidak terlalu lebar ini. Alhasil, mobil-mobil tersebut diparkir di banyak tempat di sekeliling rumah makan. Yuk, udah cukup komentarin eksteriornya. Mari masyuk.
Begitu masuk, kami dihadapkan pada kenyataan mengecewakan. Banyak yang sudah habis termasuk itiaknyo! Bagaimano iko! Padahal waktu masih menunjukkan pukul 1 siangg loh. Kayaknya rumah makan ini memang super duper laris manis. Terkenal pula. Makanya, nggak heran kalau baru jam 1 tapi banyak menu sudah habis. Melihat tampang kita yang kecewa, mungkin ibunya gak sampai hati kali yach.Tapi kita juga gak nyerah. Saya coba bertanya apakah ada pilihan lain misalnya ayam lado mudo dan ternyata untungnya ada. Ndak apo apo deh gak dapat itiak yang penting kan merasakan bumbu lado mudonyo, yo?! Ayam dan itiak apo bedanyo? Samo sajo rasanyo....Hihihi...
Jadi, begitulah disajikan berbagai jenis makanan seperti khas rumah makan Minang seperti paru, telur, jeroan, daun singkong, usus dan karipiak jangek yang gede banget! Tentu, yang diserbu adalah ayam lado mudo dan karipiak jangeknyo! Kerupuk jangek atau yang biasa dikenal dengan rambak atau kerupuk kulit ini memang besar.ukurannya sendiri mencapai selengan anak bayi. Besar dan puas makannya. Makan satu pastinya nggak cukup dech! Harganya juga lumayan. Maklum, ukurannya gede. Bikinnya juga susah donk. Jangan samain sama kerupuk jangek yang kecil. Kalau misalnya nggak inget budget, saya pasti udah makan kerupuknya banyak banged. Mana di belakang si ibu ada sekantong besar kerupuk jangek diiket. Wah, naluri maling langsung berdering. Hihihi....
Saya sendiri nggak berminat sama sekali untuk mencicipi jeroannya. Paru masih acceptable, tapi kalau yang lain nggak dech. Selain nggak terlalu suka jeroan, saya juga mikir kesehatan. Hehehe...Paru memang bikin penyakit juga sich tapi saya kan makannya nggak banyak-banyak. Boleh donk... Hehehe...Lagipula ayam lado mudonya saja sudah lebih dari cukup. Rasa lado mudonya memang bener-bener mantep. Pedas tapi tidak berlebihan. Malah terasa segar dan asin (asin sangat mendominasi) dan mau lagi dan lagi. Duh, air liur saya berlinang...hahaha. begitu ayamnya habis, kita gak rela melihat bumbunya tersisa begitu saja. Mentimun potong yang ada di meja dikorbankan untuk kepentingan perut. Mentimun campur lado mudo ternyata enak juga. Slurppp... bener-bener puas dech makan siang kali ini.
Nah, soal minumannya, berhubung kami semua sedang berada di jantung kuliner Sumatera Barat. Nggak ketinggalan donk mau icip-icip kuliner minumannya. Yang saya pesan adalah Teh Talua dan rekan saya memesan Jus Alpukat. Walaupun Teh Talua memang lebih cocok diminum sebagai menu sarapan karena kehangatannya cucok banget untuk udara Bukittinggi yang sejuk dan dingin, namun saya sempetin minum siang-siang. Ternyata, enak juga sich. Rasa minuman ini ada yang bilang kayak Cappuccino. Menurut saya, nggak terlalu sama persis. Kandungan dan bau amis yang ada di minuman ini masih terasa. Untuk orang yang nggak tahan amis, sebaiknya gak memesan minuman ini daripada mual. Minuman ini tergolong berat karena rasa dan teksturnya. Rasanya mengingatkan saya akan jamu-jamuan tertentu atau ramuan herbal. Walaupun manis mendominasi, namun secara keseluruhan, minuman ini berat dan tebal. Sesekali nanti saya akan memesannya kembali tapi nggak sering-sering lah. Enak tapi bukan favorit saya. Sementara itu, teman saya yang memesan Jus Alpukat ternyata harus sedikit kecewa lantaran tidak ada yang spesial dari Jus Alpukat yang diminumnya. Bukannya tidak enak, namun rasa minuman tersebut hampir sama atau bahkan sama seperti jus alpukat yang pernah ia minum. Tidak ada perbedaan signifikan. Saya mencobanya dan menyimpulkan hal serupa juga. Mungkinkah perbedaannya dari buah alpukat yang digunakan? Siapa tahu alpukat yang digunakan ditanam di sekitar Bukittinggi? Saya tidak menanyakannya kepada Uni penjualnyo.
Untuk makan siang kali ini, walaupun harganya masih masuk dalam kategori murah meriah dan terjangkau, namun harganya memang agak sedikit lebih tinggi daripada rumah makan pada umumnya. Kalau rumah makan Padang pada umumnya, kami bisa menghabiskan dana sekitar 100 ribuan, namun di Itiak Lado Mudo, untuk makan siang 5 orang, kami menghabiskan dana sekitar 160 ribuan. Artinya, satu orang menghabiskan sekitar 30 ribuan lebih. Walaupun demikian, harga yang dibayarkan sebanding sama kepuasannya. Perut pun tidak meronta-ronta lagi. Sudah duduk tenang, akur, hampir mengantuk.
Beberapa tamu yang datang sesudah kami tampaknya harus benar-benar menelan kekecewaan karena hampir semua menu telah kosong. Perut dan lidah memang nggak bisa bohong. Tauk aja mana yang enak dan yang ngga. Nah, seusai makan, saatnya tepat sekali untuk meluruskan perut dan kaki dengan berjalan-jalan kaki ringan ke arah Ngarai. Siap foto-foto lagi!
Oh yah, agar nggak kecewa, coba dech telepon dulu Itiak Lado Mudo Ngarai di 0752.35574, Jalan Ngarai Binuang No. 41. Siapa tahu itiaknya masih tersisa dan anda masih bisa kejar waktu kesana, berlomba-lomba dengan peserta lain. Hehe...

3 komentar:

  1. Hallo bro..eh makasih ya dah dipasang linknya, mungkin kalo bisa ganti jgn morat marit, ganti dengan: Kenali dan Kunjungi Objek Wisata di Pandeglang

    Trus URLnya: http://www.moratmarit.com/2009/08/kenali-dan-kunjungi-objek-wisata-di.html

    Sebelum aku ucapkan terimakasih.>:)

    ReplyDelete
  2. harus coba ini!
    bercerita dan berkomen tentangnya membuat liur saya kembali terbit...hehehe

    ReplyDelete