Echo Homestay Di Tengah Lembah Harau

Ini dia! Akhirnya saya mencapai penginapan ini juga! Perlu diketahui, bahwa saya agak sedikit was-was melakukan reservasi disini. Apa pasal? Yang jelas, proses melakukan reservasi disini adalah penuh dengan cucuran keringat dan ketidak pastian. Ditambah dengan potongan blog di internet yang menyarankan saya untuk reservasi jauh-jauh hari, makin jiperlah saya tidak mendapatkan tempat untuk menginap di homestay ini. Yang saya takutkan adalah saya tidak mendapat penginapan dan harus bertolak kembali ke Payakumbuh untuk tidur. Oleh karena itu, rencana cadangan sangat dibutuhkan disini. Persiapkan diri anda apabila anda berada pada musim ramai liburan. Persiapkan hal terburuk yang mungkin terjadi sehingga anda dengan sangat terpaksa harus kembali ke kota. Walaupun jarak antara Harau dengan kota tidak terlalu jauh, namun yang pasti adalah kekecewaan akan membayangi para peserta liburan karena ekspektasinya akan jauh berbeda.Keluhan pertama saya adalah sangat sukar menelpon tempat ini untuk melakukan reservasi. Dari 20 kali percobaan telepon, hanya satu yang diangkat. Saya sampai frustasi dan kecewa bahkan hingga menyiapkan rencana cadangan untuk menginap di tempat lain. Dari semua percobaan tersebut, saya hanya berhasil menelpon untuk bertanya soal harga dan kapasitas kamar saja. Pada percobaan berikutnya dengan maksud untuk reservasi, saya tidak berhasil satu kali pun melakukannya. Sempat saya mengira telepon ini adalah selular, sehingga saya mengirimkan sms, namun hasilnya nihil. Tidak ada respon apapun. Ketika saya mencoba mencari tahu, ternyata Echo Homestay ini tidak memiliki ruangan khusus untuk menerima tamu. Telepon ada di kantor kecil yang memang bukan didesain untuk menerima tamu, alhasil, keberadaan staff penerima tamu disana hampir nihil. Mereka kebanyakan berkeliaran di sekitar homestay atau di dapur dan restoran, membantu proses persiapan pembuatan makanan atau melakukan tugas housekeeping. Jadinya, sangat wajar telepon yang berdering tersebut hampir tak pernah diangkat. Saya jadi capai menekan nomor telepon berkali-kali. Berbekal jasa travel agent yang kami sewa, saya mendapat handphone milik Pak Ade, pengurus utama homestay tersebut. Walaupun masih susah untuk dihubungi, namun setidaknya dengan menelpon ke handphone Pak Ade, saya berhasil mendapat kepastian bahwa saya jadi menginap di tempat ini. Walaupun saya datang cukup telat, tempat saya tidak diberikan ke orang lain. Untung, saat itu bukan musim liburan.
Echo Homestay, atau Penginapan Lembah Echo (seperti tertulis di area pintu masuk) diklaim sebagai satu-satunya penginapan yang tepat terletak di dasar Lembah Harau. Beruntungnya saya yang menginap di penginapan ini karena saya tengah berada di lokasi objek wisata, namun sekaligus juga menginap di dalamnya. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui yach. Walaupun sekilas saya melihat ada plang yang bertuliskan penginapan lain di lembah ini, namun berbekal informasi dari Pak Ade, dia sangat yakin bahwa Lembah Echo adalah satu-satunya penginapan di Lembah Harau ini.Penginapan ini memiliki area pintu masuk yang agak lebar, cukup untuk meletakkan beberapa buah kendaraan. Di area pintu masuk yang cukup lebar ini ada sejenis lumbung padi dengan atap gonjong khas Minangkabau. Di salah satu sisinya ada semacam renovasi. Jangan-jangan untuk membangun kantor resepsionis? Segerombolan turis berfoto dengan asiknya di depan pintu masuk tersebut. Nah, mobil tidak dapat dibawa masuk hingga area dalam. Jalan masuk menuju penginapan terputus dengan adanya sebuah sungai kecil yang mengalir jernih. Di atas sungai tersebut, ada jembatan kecil namun masih bisa dilewati oleh sepeda atau sepeda motor. Selepas jembatan, barulah jalanan lurus dan berkelok sedikit menanjak pada ujungnya untuk mencapai penginapan. Kiri dan kanan jalan dipenuhi oleh sawah. Sayang, warnanya masih coklat, tampak baru saja ditanam jadi keindahannya berkurang. Walaupun demikian, dari titik ini, saya menyaksikan pemandangan luar biasa disini. Di belakang dan di depan saya, tebing yang tinggi menjulang angkuh berwarna kemerahan. Serasa terhimpit. Di kejauhan, banyak orang berteriak dan berseru ingin mencoba gaung yang dihasilkan oleh jalur lembah ini.Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, penginapan ini tidak memiliki kantor ataupun meja untuk menerima tamu. Alhasil, saya yang sudah tiba di deretan penginapan yang tersebar di sebidang tanah ini, kebingungan harus berjalan kemana. Walaupun demikian, tak lama ada seorang Uda yang masih muda menghampiri kami dan bertanya maksud kunjungan kami. Saya jelaskan, saya sudah melakukan reservasi kepada Pak Ade bahwa saya akan menginap di dua buah pondok terkecil yang hanya bisa menampung hingga 2 orang saja. Uda tersebut mengerti dan segera mengarahkan saya ke bagian ujung kanan dari sebidang tanah ini dan menunjuk dua pondok kecil yang bersebelahan letaknya dan terpisah oleh sebuah kolam yang agak butek. Total pondok di Lembah Echo ini sekitar 17 buah. Ukurannya bervariasi mulai dari yang terkecil yang saya tempati hingga yang terbesar dan terletak di tengah-tengah lahan yang bisa untuk menampung rekan-rekan sekantor apabila mau melakukan outing kesini. Harganya tentu berbeda antara pondok kecil sederhana dan rumah yang sangat besar tersebut. Untuk pondok saya, harganya dipatok Rp. 50.000 per malam, kamar mandi luar, tanpa sarapan pagi. Untuk pondok terbesar, harganya dipatok sekian juta dengan daya tampung hingga belasan dan puluhan orang. Informasi detail bisa anda tanyakan pada Pak Ade, pengurus penginapan ini. Yang jelas, berhubung kami berempat dan terdiri atas dua pria dan dua wanita, kami tidak boleh mencampur adukkan jenis kelamin ketika tidur di pondokan tersebut. Artinya, pria tidak boleh tidur sepondok dengan wanita tanpa ikatan perkawinan. Tentu, saya berpikir, kalau satu pondok diisi dengan satu jenis kelamin saja, maka urusan pasti beres. Kenyataannya, mereka mengatakan bahwa lokasi pun harus dipindah untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Agak ribet yach? Alhasil, para wanita harus menempati pondokan lain yang terletak di dekat pondok utama, dengan harga Rp. 100.000, tanpa sarapan pagi dengan kamar mandi dalam. Pondok yang berukuran sangat besar biasanya digunakan untuk menampung keluarga besar. Tampak keluarga besar yang terdiri atas banyak wanita dan banyak pria berkumpul di pondokan tersebut. Seperti halnya di bagian lain di Sumatera Barat, bagi pria dan wanita yang menginap bersama tanpa ikatan suami istri adalah dilarang. Jadi, daripada ambil pusing sebaiknya ikuti saja aturan dan tidur dengan jenis kelamin yang sama saja.
Begitu selesai check-in, saya segera mengeksplorasi lingkungan sekitar penginapan. Ya, memang areal penginapan ini sangat luas. Untungnya, musim ketika kedatangan saya adalah bukan musim wisata. Banyak pondokan kosong yang saya temui tidak berisi penghuni. Hanya segelintir pondok saja yang terisi. Kekhasan dari penginapan ini adalah hampir semua pondok tempat menginapnya berarsitektur kepala gonjong khas Minangkabau. Untuk pondok saya, walaupun tidak bergonjong, namun atapnya ditutup dengan sirap hitam. Sangat alami. Lahan sekitar penginapan cukup rapih, berbunga-bunga, dihiasi dengan lampu taman dan jalan setapak yang berbatu-batu. Tentu, yang paling mengesankan adalah karena kita dapat merasakan tinggal di tengah-tengah lembah yang sempit. Kemanapun melangkah dan menghadap, yang terlihat hanyalah tebing-tebing tinggi yang pucuknya berwarna kekuningan cerah tersiram cahaya matahari. Udaranya, walaupun tidak terlalu dingin, tapi segar karena sangat jauh dari kehidupan kota dan polusi yang bising. Tinggal disini, saya bahkan tidak satu kali pun mendengar adanya hiruk pikuk suara kota. Sangat jauh dari peradaban padahal jarak menuju kota tidak terlalu jauh.Sempat saya berpikir untuk mempersiapkan bahan makanan sebanyak mungkin karena kita akan tinggal di tengah-tengah lembah dan akses menuju makanan cukup sulit. Karena tinggal di homestay, kemungkinan yang terpikirkan oleh saya hanya dua : tidak ada makanan sama sekali atau makanan tersedia dengan harga yang mahal. Untung, ketakutan saya sama sekali tidak beralasan. Tepat di depan hotel berjejer warung-warung makanan sederhana yang terlihat sekilas, ternyata menjual indomie, roti bakar dan minuman seperti milo, air jeruk, kopi dan teh. Pokoknya menu-menu sarapan lah. Di dalam penginapan sendiri ternyata ada sebuah restoran (bisa juga sich disebut café) karena menyediakan berbagai macam menu yang ringan hingga yang berat sekalipun. Dan soal harga, saya nggak kuatir lagi. Semuanya terjangkau kantung! Padahal, kalau melihat ruangannya, coba anda bayangkan. Sebuah ruangan besar yang bisa menampung puluhan orang di meja makan panjang dan meja pantry dapur ada di pinggirnya. Desain plafonnya unik, banyak bambu menjuntai dari atap sehingga seakan-akan terjadi hujan bambu di atas kepala kita. Di sudut ruangan, ada televisi berukuran besar yang tampaknya dipergunakan untuk para penggila bola (mengingat saluran yang ada waktu saya mencobanya adalah saluran sepak bola di televisi Indonesia). Sebagai pelengkap, ada player yang bisa memutarkan lagu-lagu kenangan tempo dulu. Bisa untuk karaoke juga sich. Sayangnya, lagu-lagu yang tersedia (ada tertumpuk di atas player) merupakan lagu-lagu lawas jaman dahulu dan lagu rohani. Nggak semua orang suka akan lagu macam ini sich. Kalau saya sich, yach...suka suka aja tuch. Hehe...Pokoknya selama bisa dipakai bergembira ria dan nyanyi-nyanyi.
Di luar dari aula restoran ini, ada meja-meja kecil disusun dengan kursi-kursi metal sebanyak empat buah mengelilingi meja-meja tersebut. Kumpulan meja dan kursi tersebut tampaknya berdiri di atas sebuah balkon kayu yang langsung berada di atas ketinggian. Di bawah saya, ada sungai kecil yang mengalir, sawah, dan sebuah pemandangan tepat mengarah ke lembah. Cermin wash basinnya saja unik. Terbuat dari ukir-ukiran kayu yang disatukan hingga membentuk semacam frame dedaunan dari kayu. Cukup soal arsitekturnya, mari kita beranjak soal makanan. Makanan yang ada disini bervariasi namun kebanyakan memang berupa makanan khusus sarapan. Menu seperti Pancake (Rp. 6.500 – Rp. 9.500), Omelette (Rp. 5.500 – Rp. 9.500), Toast (Rp. 6.000 – Rp. 9.000), Nasi, Mie Goreng dan Mie Rebus (Rp. 8.000 – Rp. 15.000), dan Soup (Rp. 8.000 – Rp. 15.000) menghiasi sebagian besar lembar menu. Anda juga bisa menemukan berbagai menu lainnya yang agak kurang cocok dikonsumsi pada saat sarapan, seperti misalnya Spaghetti (Rp. 13.000 – Rp. 18.000), Cap Cay (Rp. 9.000 – Rp. 15.000), dan aneka makanan tradisional dengan bahan dasar ikan dan cabai seperti Ikan Kering Tempe Saus Sabe (Rp. 8.000), Gulai Buncis (Rp. 8.000), Sardines Sambal (Rp. 10.000), dan Tahu Cabe (Rp. 6.000). Sangat terjangkau kantung yach? Soal minuman, anda juga tidak perlu khawatir. Penginapan ini punya segudang variasi menu minuman mulai dari segala jenis teh (Oolong, Daarjeling, English, Green), Milkshake, Susu, Kopi, dan juice-juicean dengan variasi mulai dari Rp. 3.000 hingga Rp. 8.000. Sangat terjangkau menurut saya. Walaupun namanya “Homestay”, tapi tempat ini telah melakukan lebih daripada sekedar homestay. Menarik sekali menghabiskan waktu di tempat ini. Kalau perlu, sambil makan, sambil menikmati menu-menu yang asing dan jarang ditemukan seperti Chapati (Roti India-Rp. 6.500 – Rp. 9.500), Godok (Bola-Bola Pisang Rp. 6.000), Ayam Sos Kol (Rp. 10.000) dan Banana Cinnamon Milkshake (Rp. 6.000). Jadinya, saya pun tidak bersusah payah mencari makanan untuk makan malam dan makan pagi. Semuanya tersedia disini. Nggak perlu kuatir tidak bisa makan di homestay ini. Segalanya terjamin. Yang perlu anda khawatirkan hanyalah anda tidak bisa mendapat menu favorit anda karena bahan utamanya sedang habis. Seperti misalnya, pada saat kunjungan, saya mendapati mayonaise sedang habis. Alhasil, semua menu bermayonaise ditiadakan. Atau, yang terparah, disajikan tidak dengan mayonaise.Di penginapan ini, banyak sekali lokasi yang bisa dijadikan untuk tempat foto-foto. Mulai dari fireplace api unggun di tengah-tengah area penginapan, tempat tidur gantung untuk bermalas-malasan hingga kamar mandinya yang hampir semuanya beratapkan langit! Kebayang dunk, sambil mandi sambil melihat langit. Kadang-kadang, kalau beruntung, ada beruk melompat-lompat di pepohonan di atas pohon di atas kamar mandi kita. Siapkah anda mandi sambil ditonton beruk? Hehehe... Tempat sholat juga disediakan disini. Ada surau kecil yang bentuknya manis dengan atap sirap terletak dekat dengan pondok utama. Pepohonan di sekitar penginapan juga bisa menjadi objek foto yang bagus kalau anda tertarik akan fotografi tanaman.
Nah, menjelang malam, lembah pun gelap sama sekali. Yang hanya bisa kita dengar hanyalah suara-suara hewan malam dan keberadaan penghuni lain yang biasanya berkumpul di sekitar balkon mereka atau memadati (nggak padat-padat banget sich) restoran. Sekali dua kali di kejauhan tampak sinar panjang lampu kendaraan menyapu jalan. Tampaknya mereka adalah kendaraan yang baru saja pulang dari kegiatan mengunjungi objek-objek wisata (mungkin air terjun kali yach?) atau pedagang makanan yang banyak tersebar di penjuru Taman Nasional ini. Suasana homestay dan lembah ini benar-benar sunyi pada malam hari.Kamar yang kami tempati sendiri berdinding kayu dan jendelanya pun kayu, sehingga tidak tertutup sempurna. Kalau ada serangga atau apapun, saya yakin bisa masuk melalui celah-celah tersebut. Kamarnya cukup untuk dua orang dan tidak ada televisi. Kamar yang saya tempati ini memang sudah selayaknya hanya digunakan untuk tidur saja. Bukan untuk beraktifitas. Di malam hari, saya justru tidak bisa tertidur pulas! Suara-suara hewan malam di luar sana justru membuat saya sangat merasa asing dengan tempat ini. Suara tetesan air hujan, suara serangga malam, suara desir pepohonan, suara entah mungkin beruk yang memanjat atap pondok saya, suara anjing yang melintas di sisi pondok, hingga laron yang beterbangan bahkan hingga masuk dan menempel di wajah saya. Bener-bener bikin nggak bisa tidur. Untuk orang yang merindukan suasana alami, tampaknya akan suka dengan semua ini. Tapi, buat saya ini terlalu drastis. Tiba-tiba dicekoki dengan kealamian seperti ini membuat saya gagap. Malah nggak bisa tertidur semalaman mendengarkan aneka suara di luar sana. Pagi harinya, seekor walang sembah telah bertengger manis di jendela bagian dalam kamar saya. Saya rasa, jutaan serangga terbang dan pergi menjauhi pondok saya. Apalagi saya tertidur dengan menggunakan lampu yang menyala terang. Sudah dapat dipastikan cahaya tersebut akan menarik banyak serangga. Kalau anda nggak yakin, anda bisa coba tinggal di pondok yang lebih besar yang berdinding batu sehingga lebih kedap dari ancaman masuknya serangga tanpa sengaja seperti yang terjadi di pondokan saya. Pondokan yang lebih besar memiliki tampilan yang lebih berkesan rumah.
Pagi hari adalah waktunya check-out. Berhubung tidak ada kantor, maka proses check out dilakukan di depan pondokan terbesar di tengah-tengah lahan penginapan. Sambil proses check out yang masih cukup manual (dihitung dengan menggunakan tangan dan kalkulator), saya diantar Pak Ade berkeliling pondokan terbesar yang ternyata dahulunya adalah sebuah rumah gadang asli yang dipugar dan dijadikan rumah penginapan. Bagian bawah rumah gadang ini masih berpanggung namun tertutup sehingga kita akan tidur di lantai atas sementara di lantai bawah biasanya digunakan untuk menyimpan logistik atau menyiapkan makanan. Bagian dalam pondok terbesar ini hampir seluruhnya terdiri atas kayu yang dipernis. Ada beberapa kamar tidur dan ada wilayah luas di tengahnya yang mungkin bisa digunakan untuk acara kumpul-kumpul. Pondok besar ini bahkan memiliki balkon dan pemandangan langsung ke kolam yang banyak dipenuhi ikan ko’i. Di pagi hari ini, di dekat dapur, saya melihat sang Uni sedang mengupas bawang merah. Ritme pagi yang menarik!
Untuk informasi dan reservasi, coba hubungi Echo homestay atau Lembah Echo di Tarantang Lubuk Limpato, Lembah Harau, Payakumbuh telp (0752) 7750305, fax (0752) 7750200 atau di handphone Pak Ade apabila telepon ini sukar dihubungi (08126730609). Pak Ade sendiri tidak selalu berada di penginapan, namun beliau akan dengan senang hati membantu dalam pengurusan administrasi anda untuk check-in maupun check-out. Beliau sendiri juga berpesan kepada saya agar kepulangan saya kembali turut sekaligus mempromosikan Lembah Echo ini kepada teman-teman sekalian. Sudah tentu,setelah membaca review saya ini, anda jadi makin tertarik kan ke Lembah Harau dan bermalam di Lembah Echo? Kapan lagi bisa tidur di tengah-tengah lembah dengan suara binatang malam bersahut-sahutan di sekeliling? Jangan lewatkan lokasi ini kalau kebetulan anda berkunjung ke Sumatera Barat atau berada di sekitar Payakumbuh. Ingat, reservasi jauh-jauh hari lebih baik mengingat tempatnya terbatas. Perhatikan juga waktu kunjungan anda. Apakah berdekatan dengan waktu kunjungan wisata atau bukan.

7 komentar:

  1. Seru...seru,boljug tuh...bs dipertimbangkan main2 kesana...sdh terbayang betapa serunya tdr dialam Seperti itu,malam gelap ditemani suara2 alam....hummmm... Boleh...Boleh (Henny)

    ReplyDelete
  2. hohohoho...buat saya, karena terlalu 'alami' sampai ga bisa tidur....serasa tidur di tengah-tengah hutan. belum lagi gangguan sepanjang malam berupa suara, gerakan hewan di luar dan di atap, serta serangga yang beterbangan sampai nemplok di muka....hahaha....serasa kemping ini mah....

    tapi kalau suasana mah, top markotop dah! ga ada yg ngalahin...apalagi makanannya :D

    ReplyDelete
  3. emg gak Pake kelambu ya Tmp tdrnya???? Kayaknya agak2 serem jg kalo sepi bgt,tp seru...seru...asik Kayaknya (sok2 berani,Pdhal Ntar ngacir Paling duluan)....btw, pertanyaan lomar lupa dijwb dulu, Iya nih....belum ada kesempatan lg berpetualang, jadwalnya bentrok terus antara Libur sekolah anak ama off nya hubby....hiks...jdnya vakum deh ngisi cerita di blog,apa yg mo certain??? Hehe...(Henny)

    ReplyDelete
  4. kan suami istri boleh tidur satu pondok....kalau takut, pegangan aja sama Mas-nya...hehehe...

    ga ada kelambu dan jendelanya bertutup papan aja...jadinya ada celah buat masuk para serangga itu dech....

    hubbynya masih off? hehehe...yasud, tetep samnagta berkarya yach...at least jalan ke sekitar Balikpapan atau Samarinda juga masih oke :D

    ReplyDelete
  5. Great post..! Laporan perjalanan Anda sangat lengkap dan detail... Terima kasih atas semua informasi yang tertuang dalam content..
    Sang manager sekarang bernama Pak Eka. Tidak seperti Ade, Eka dan keluarganya tinggal di lokasi..

    ReplyDelete
  6. ..informasi terbaru di : http://www.echohomestay.blogspot.com atau di http://www.lembahecho.blogspot.com

    ReplyDelete
  7. Berapa jarak dari penginapan dengan tempat mandi2 di harau ny?

    ReplyDelete