Selamat Datang di Danau Singkarak

Inilah danau terbesar di Sumatera Barat dan danau terbesar kedua di Pulau Sumatera. Dari Sitinjau Lauik, saya dan rombongan membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk mencapai danau ini. Namun, berhubung danau ini sangat luas, maka rombongan kami butuh waktu 30 menit ekstra lagi untuk mencapai tempat yang dirasa ideal untuk menikmati keindahan danau ini.Danau ini adalah danau vulkanis. Artinya, cerita yang sama terjadi pada Danau Maninjau dan Danau Toba. Pembentukan danau ini terjadi akibat gunung merapi yang meletus. Letusan gunung tersebut menimbulkan kawah. Kawah tersebut terisi air hujan dan jadilah hasilnya seperti yang akan saya perlihatkan kepada anda.
Danau Singkarak berjarak sekitar 35 KM dari Sitinjau Lauik dan 15 kilometer dari Kota Solok. Ruas jalannya yang berkelok-kelok dan naik turun menyebabkan waktu tempuh menuju danau ini cukup mulur. Jalan raya (sering disebut sebagai Jalan Trans-Sumatera) yang melintasi sisi timur danau ini berkualitas bagus, mulus dan sepi. Menjelang Sumani, desa pertama yang akan dilintasi di sisi danau dari arah Solok, jalanan mulai lurus menampilkan banyak sawah di sisi kanan dan kiri. Selain sawah, waktu tampaknya mundur beberapa puluh tahun ke belakang. Anda bisa dengan mudah menemukan rumah gadang besar maupun kecil di sisi kiri maupun kanan jalan yang sempit. Rumah gadang tersebut terletak persis di tepi jalan, hanya terhalang pagar pendek di depan rumah. Rasanya rumah tersebut mudah diraih tangan saya yang bisa saja keluar jendela. Suasana ini mengingatkan saya akan kehidupan masyarakat tradional Minang yang sering muncul di acara kebudayaan di televisi. Selain rumah gadang, rumah masyarakat disini kebanyakan berupa rumah sederhana dari kayu seperti ciri umum rumah Sumatera. Ingin rasanya berhenti di ruas jalanan ini untuk menikmati suasana antik dan bersahaja ini. Tapi nggak mungkin donk. Kita kan ngejar waktu.
Tiba-tiba saja, tanpa ada peringatan sebelumnya, jalanan merepet ke tepi danau. Jreng, danau yang besar seluas pandangan mata sudah berada di ambang penglihatan kami. Kami berseru kegirangan.
Sekilas, danau ini mengingatkan saya akan Danau Toba, terutama dengan bukit-bukit berwarna biru kelam yang mengelilingi hampir setiap jengkal sisinya. Sayangnya, suhu udara pagi menjelang siang itu cukup tinggi (padahal baru jam 10 loch!). Awan tidak tampak batang hidungnya di angkasa. Langit biru cerah bersih. Danau pun bersih tanpa adanya kabut sesuai dengan gambaran saya akan danau ideal. Buyar sudah fantasi saya akan danau yang dingin dan sejuk. Tidak semua danau berhawa sejuk dan asri ternyata.
Memang, dalam beberapa (atau bahkan semua) literatur, Danau Singkarak disebut-sebut tidak akan pernah mengalahkan keindahan Danau Maninjau dari segi kualitas pemandangan dan lain-lain. Dan lain-lain yang dimaksud disini mencakup akomodasi dan kebutuhan wisatawan. Berbeda dengan Singkarak, Maninjau tampak lebih siap dengan hal-hal seperti ini. Bahkan, ini didukung dengan suhu ideal Maninjau yang lebih sejuk dan nyaman bagi wisatawan. Kembali ke Singkarak, konon, dahulu Singkarak pernah menjadi ikon pariwisata di Sumatera Barat namun entah kenapa ke belakangnya, tampak kurang terurus dan kalah pamor dibanding Danau Maninjau. Dari beberapa berita surat kabar bahkan disebutkan bahwa tingkat pencemaran Danau Singkarak sudah cukup mengkhawatirkan. Walaupun, ketika saya melihat kondisi airnya, ternyata cukup bening kehijauan dan menampilkan isi danau yang berbatu-batu. Dasar danau di bagian tepi cukup jelas terlihat apalagi dengan sinar matahari yang terik memancar. Tumbuh-tumbuhan yang menghuni pinggiran dan bagian bawah air pun terlihat dengan jelas.
Di danau ini hidup ikan yang endemis hanya ada di sini. Ikan Bilih namanya, namun sayang, saya tidak sempat berhenti untuk mencoba makanan yang terbuat dari Ikan Bilih yang konon katanya gurih ini. Kalau mau makan Ikan Bilih ini mungkin anda bisa coba beberapa tempat perhentian yang ada di sepanjang danau ini. Silahkan pilih saja satu dari antara yang ada. Tempat perhentiannya sendiri cukup bagus koq. Sudah ‘lebih’ dari sekedar warung makan biasa. Beberapa tempat bahkan menyediakan gazebo di tepi danau beserta paying-payungnya.
Jarak jalan yang mengelilingi sisi pantai barat danau ini sekitar 25 kilometer. Desa Singkarak sendiri terletak di sebelah tenggara danau ini. Jalan yang mengelilingi sisi barat danau ini tergolong mulus dan bagus. Saya sendiri heran bahwa kendaraan yang melintas selama satu jam dapat dihitung dengan mudah, kalau nggak bisa disebut sepi. Ya, tidak banyak kendaraan yang melintas di jalan ini walaupun sebenarnya, Danau Singkarak cukup menarik untuk dijadikan lokasi wisata. Akses menuju danau ini harusnya cukup mudah mengingat hampir sepanjang jalan raya yang melingkari sisi barat danau, ditempeli dengan rel kereta api di sampingnya. Sekali lagi anehnya, saya tidak menemukan satu kereta api pun yang melintas padahal saya sudah berdiam dan berfoto di danau ini cukup lama sebelum kemudian menelusuri sisi danau lagi. Ada nggak sich akses kereta api kesini? Kayaknya jangan terlalu berharap pada bus lintas kota sebab saya hampir tidak melihat satu pun bus lintas kota yang melintas disini (atau saya kebetulan nggak mengamati yach?).
Sepanjang perlintasan, ada banyak tempat untuk berhenti guna menikmati keindahan danau ini yang sekali lagi saya katakan, mirip Danau Toba karena banyaknya bukit-bukit besar yang mengelilingi sekeliling danau ini. Air danau berwarna biru tua, tanda sangat dalam. Pernah ada cerita sebuah mobil nyemplung ke dalam danau ini bersama dengan para penumpangnya. Konon, mobil beserta seluruh penumpangnya tidak bisa ditemukan dari dasar danau yang sangat dalam ini. Seram yach?
Beberapa tempat peristirahatan di sisi danau ini kebanyakan berupa warung dan rumah makan sederhana saja. Tampaknya hanya makanan ringan saja yang mereka sajikan. Walau demikian, ada satu titik yang cukup menarik karena menyediakan deretan payung-payung gazebo di tepi danau. Sayang, kami serombongan tidak berhenti di tempat tersebut. Kami berombongan berhenti di salah satu sisi danau yang sepi namun memiliki sejenis tangga untuk turun ke permukaan danau. Tampak ada satu keluarga sedang menggelar tikar di tepi danau sambil membuka rantang bekal mereka. Ahh..inilah hidup.
Berpanas-panas ria, kami mencoba untuk menikmati keindahan danau ini. Dasar danau yang diliputi batu-batuan berwarna kehijauan tampak dari pinggir lokasi tempat saya melakukan pengamatan. Saya sendiri tidak tertarik sama sekali untuk berenang di danau ini. Jujur, cerita bahwa danau ini sangat dalam cukup membuat saya jiper. Mungkinkah danau ini ternyata sangat dalam walaupun dilihat sekilas tidak? Airnya yang berwarna biru tua bergelombang tiada henti. Alhasil, kami hanya menghabiskan waktu untuk berfoto saja dengan latar danau ini. Batu-batu besar yang ada di sisi pinggir danau menjadi objek derita oleh kami ketika melakukan pemotretan. Selang beberapa lama, batu-batu dan pemandangan pun tidak menarik lagi bagi kami. Terlebih, matahari makin meninggi, suhu udara makin panas. Kami segera beranjak agar tidak kelamaan terpanggang di danau ini.

2 komentar: