Rambu Solo Balusu

Mulailah perjalanan panjang dari ruas Sa’dan menuju Balusu. Ruas ini terletak di dekat percabangan Pallawa. Percabangan ini terletak antara simpang Bori dan Pallawa. Jalur ini terletak di tengah-tengah sawah. Berhubung lokasi Rambu Solo tidak selalu sama dan terletak di pedalaman kampung, anda harus benar-benar bertanya dengan jelas lokasi perhelatan berada. Jangan malu untuk bertanya berkali-kali sampai anda menemukan lokasinya. Daripada tersasar, terus bertanya adalah pilihan yang sangat baik. Walaupun Rambu Solo termasuk pesta yang meriah dan berukuran besar, namun anda belum tentu mendapatkan jawaban memuaskan akan lokasi pesta ini digelar. Bisa jadi, warga setempat yang anda tanya tidak mengetahui informasi ini sama sekali. Makanya, banyak-banyak bertanya sama sekali nggak salah dech.
Ternyata tempatnya jauh sekali. Mulai dari menyusuri pematang sawah, melewati rumah-rumah penduduk desa, masuk ke rerimbunan tanaman, hingga tempat yang jarang terlihat orang, akhirnya saya tiba di Balusu. Lama perjalanan mencapai setengah jam. Perjalanan menuju Balusu melewati jalur datar dan di ujung ada tanjakan cukup parah. Motor saya meraung-raung keras dalam hentakan gigi satu, berjuang untuk naik di jalan yang berbatu-batu dan sedikit becek. Aneka jenis jalanan mulai dari aspal, aspal hancur, jalan tanah, berbatu-batu, jalan becek, genangan air sudah saya lewati semua. Desa Balusu cukup luas namun lokasi pelaksanaan Rambu Solo terletak cukup dalam dan tinggi. Motor yang saya kendarai sampai meraung-raung ketika melewati sebuah bukit kecil dengan medan berbatu. Saya sampai takut kalau bahan bakar habis di tengah-tengah bukit seperti ini. Untungnya, saya akhirnya mencapai kampung tempat berlangsungnya Rambu Solo pada pukul 2 siang.

Saya bersyukur, pestanya masih berlangsung hingga sesiang itu. Sayangnya, saya sudah terlalu siang mencapai Balusu. Kerbau terakhir sudah dibantai siang itu. Saya hanya melihat sisa-sisa daging yang disayat dan dipotong-potong dalam potongan kecil. Kepala kerbau sudah terpotong dan teronggok diantara gelondongan kayu. Satu halaman tersebut dibalut dalam kain panjang warna merah yang disablon ukiran Toraja. Keluarga utama berkumpul di dekat Tongkonan utama sementara itu anak-anak sang almarhum berkumpul di pendopo buatan yang dibuat dengan bambu. Saya kebingungan ketika pertama kali mencapai tempat ini. Walaupun banyak sekali orang ramah yang tersenyum kepada saya, namun saya bisa memastikan tidak ada satupun turis di tempat ini. Dengan penglihatan sekilas saja, saya sudah tahu, bahwa sayalah satu-satunya wisatawan di tempat ini. Semuanya adalah orang Toraja asli. Waduh, bagaimana ini? Nggak lucu donk kalau sudah sejauh ini terus mundur?
Saya agak bingung sehingga saya terpaksa bertanya kepada salah seorang pemuda yang tampaknya panitia di acara ini. Pemuda tersebut tampak menunjukkan keheranannya akan kehadiran saya, namun cepat berganti menjadi ramah dan membantu saya begitu ia tahu bahwa saya adalah turis. Dari penjelasannya, saya jadi tahu bahwa tidak ada turis sama sekali di tempat ini. Ini adalah murni acara keluarga. Walau demikian, turis atau wisatawan sebenarnya diterima dengan tangan terbuka. Orang Toraja berfilosofi bahwa, tamu yang datang dari jauh adalah berkah. Walaupun saya tidak memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan keluarga almarhum, saya tetap akan diterima dengan baik di tempat ini.
Pemuda tadi menunjukkan istri dari bapak yang meninggal tersebut. Bapak tersebut meninggal dalam kurun waktu satu minggu lalu. Hari ini adalah pesta penyembelihan kerbau dan besok adalah hari penguburannya. Sayang, saya tidak mengikuti ritual ini dari pagi. Menurut pemuda tadi, tadi pagi ada acara pertarungan kerbau sebelum kerbau-kerbau ini akhirnya disembelih. Pertarungan tedong tampaknya sesuatu yang lazim untuk dilakukan pada Rambu Solo. Saya sempat bertanya pula akan tari-tarian yang sekiranya bisa menghibur penonton dan menampilkan adat kebudayaan dan kekayaan Toraja. Sayang, kata pemuda tersebut, pada Rambu Solo, tidak ada tari-tarian adat atau bunyi-bunyian.
Saya menghampiri ibu sang istri dari bapak yang meninggal ini. Saya menyampaikan ucapan belasungkawa saya dan menyerahkan hantaran yang saya beli tadi. ibu tadi sempat bertanya silsilah saya dan hubungan kekerabatan saya. Waduh, saya jadi panik juga ditanyai begitu. Namun saya berkata bahwa saya adalah turis dan tidak memiliki hubungan kekerabatan apapun. Tampak jelas, bahwa ibu tersebut agak heran namun keheranannya tersebut segera berganti dengan keramahan. Ia segera menawarkan saya untuk duduk dan makan. Ibu yang ramah. Sembari berkeliling, saya melihat sekeliling. Jasad sang bapak diletakkan di dalam keranda khusus khas Toraja. Keranda tersebut diletakkan di panggung tinggi di depan Tongkonan utama. Kerandanya berhias dan diberi aneka gantungan khas Toraja. Alih-alih sepi dan mengharu biru, suasana sekitar ramai oleh suara hantaman golok dan pisau ke daging. Area lapangan tengah tampak becek bersimbah tanah dan darah. Semerbak bau pembantaian menguar ke udara dan lalat berdatangan. Beberapa potong daging dan jeroan banyak teronggok di pinggir lapangan. Kerbau terakhir sudah disembelih dan dagingnya dipotong kecil-kecil. Pembagian daging masih berlangsung kepada setiap tamu yang datang. Sebagian daging lainnya diolah menjadi makan siang yang dibagikan kepada para tamu. Beberapa daging berukuran cukup besar ada juga yang dilelang. Proses lelangnya pun unik, menggunakan bahasa Toraja yang tidak saya pahami. Uniknya, saya mendengar ada kata “pitu” diucapkan disini. Tanya punya tanya, ternyata pitu dalam bahasa Toraja artinya adalah tujuh. Sama seperti bahasa Jawa rupanya. Beberapa bapak yang sudah cukup berumur meminum balok, minuman keras hasil fermentasi nira yang disimpan dalam batang bambu, khas Toraja. Saya bahkan sempat ditawari untuk mencicipi balok. Namun saya berterima kasih dan menolak tawaran tersebut. Habis, saya kan masih harus bawa motor. Gimana bisa bawa motor kalau mabuk, ya ngga? Hehehe.

Saya menyudahi kunjungan setelah melihat penyembelihan dan tidak ada perkembangan lebih lanjut dari acara Rambu Solo ini. Pemuda yang tadi membantu saya sedikit banyak bercerita tentang ritual kematian Toraja. Ia banyak bercerita tentang benda-benda pelengkap upacara, istilah, bahasa Toraja, ritual yang berlangsung dan hal-hal lainnya. Menyenangkan sekali mendengar ceritanya. Walaupun sibuk, ia baik sekali mau mendampingi saya yang jelas-jelas turis dan tidak memiliki pemahaman apapun akan Rambu Solo. Pemuda ini menjelaskan saya banyak hal akan kebudayaan Toraja. Hebat! Sayang, saya harus bergegas pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore dan awan gelap berarak memenuhi Kampung Balusu. Saya segera berpamitan kepada ibu istri almarhum namun ditawari daging untuk dibawa pulang. Saya terheran-heran. Saya menolak dengan halus karena harus menempuh perjalanan cukup jauh. Namun, ibu itu memaksa. Waduh. Gimana nich? Hehehe. Membawa daging ke Rantepao kayaknya bukan ide baik. Saya nggak bisa mengolahnya dan lagipula bukankah akan berguna lebih banyak kalau diberikan pada tamu lain yang lebih membutuhkan daripada saya. Memang sich maksud ibu tersebut baik, namun akhirnya saya harus menolak dengan tegas dan mengatakan alasannya kepada beliau. Beliau bisa mengerti dan mengijinkan saya pulang. Saya sangat berterima kasih atas tawaran ibu tersebut yang sangat murah hati.

2 komentar:

  1. mungkin ibu itu bingung dan heran, lalu bertanya tentang silsilah dan hubungan kerabat karena mas lomar berbeda sendiri dengan orang-orang lain yang datang. hehe..

    hmm... jadi dugaan mas lomar tentang banyaknya turis yang datang itu salah ya? ternyata memang hanya acara keluarga saja..

    oh ya, mayatnya sudah seminggu meninggalnya, apakah sudah diawetkan atau bagaimana? kalau belum diawetkan pastinya sudah membusuk. lha orang meninggal udah 2 hari aja baunya udah anyir..

    ReplyDelete
  2. hehehehe...iya, bisa jadi juga tuh. "Nich orang Jepang darimana nich?", gitu kali yach pikir si ibu...hahahaha...ngarep :P
    Iya, saya agak terkejut dengan tidak adanya turis di Balusu. Untung, saya nggak mati gaya. Sok kenalan saja dan untungnya Orang Toraja cukup welcome terhadap tamu untuk Rambu Solo ini :) Jadinya, saya diterima dengan baik dech :)

    Hmm...soal mayat itu, itu yang saya nggak tahu dan nggak bertanya. Mungkin ada semacam cara untuk mengawetkan atau bagaimana kali yach, seperti di Trunyan, dimana mayat yang diletakkan di bawah pohon taru menyan tidak berbau busuk sama sekali, namun terurai secara alami oleh alam. Mungkin ada rekan-rekan dari Toraja yang bisa membantu? :)

    ReplyDelete