Desa Pallawa Yang Sangat Autentik Toraja

Seusai menikmati panorama alam di Batutumonga, waktu pun sudah beranjak siang. Saya segera bergegas turun gunung untuk menyambangi satu tempat wisata lagi yang masih berada di kaki Gunung Sesean namun berada di luar jalur Pangli - Batutumonga. Tempat wisata ini cukup terkenal akan deretan Tongkonan dan Alangnya. Sayangnya, karena kalah pamor dibanding Ke'te' Kesu', tempat ini seperti terlupakan. Untuk menuju Pallawa, anda harus kembali ke jalan utama Rantepao – Sa’dan. Artinya, anda harus kembali menuruni lereng Gunung Sesean dan berada di titik awal anda menuju Pangli. Dari jalur ini, anda ambil jalur utama dan luruslah terus. Setelah melewati deretan sawah yang cukup lebar di dekat Balusu, anda akan tiba di Pallawa, desa wisata yang secara fisik menyerupai Ke'te' Kesu' (atau Ke'te' Kesu' yang menyerupai Pallawa yach?).
Sayangnya, karena akses jalan yang kurang bagus dan fitur yang lebih sedikit dibanding Ke'te' Kesu', Pallawa agak jarang dikunjungi oleh turis. Hanya turis yang mengunjungi wilayah Toraja Utara saja yang umumnya berhasil sampai ke tempat ini. Petunjuk jalannya saja sedikit menyesatkan. Ketika saya melihat plang nama Pallawa, saya pikir saya segera sampai dan ternyata berbelok ke halaman rumah penduduk. Oleh penduduk sekitar, saya diberitahu, bahwa Pallawa terletak di tiga belokan depan setelah plang nama tersebut. Penempatan petunjuk yang agak aneh, bukan?

Dari jalan masuk tersebut, saya melewati deretan pekuburan yang sudah agak modern. Sekitar satu kilometer perjalanan dari pintu masuk, sampailah saya di Desa Pallawa. Tidak ada plang petunjuk lokasi resmi desa wisata, hanya undang-undang perlindungan cagar budaya saja yang tampak. Jelas, turis jarang sekali mencapai tempat ini. Pada saat kedatangan saya, hanya sayalah satu-satunya turis di Pallawa. Walaupun mirip dan serupa dengan Ke'te' Kesu' (yang diwakilkan oleh deretan Alang dan Tongkonan berjejer di kanan kiri), namun perbedaan mencolok jelas terasa disini. Suasana tempat wisata sangat terasa begitu kita memasuki Ke'te' Kesu'. Hal tersebut diperkuat dengan adanya loket tiket resmi dan sejumlah toko souvenir. Di Pallawa, tidak ada hal-hal semacam itu.
Saya memarkirkan motor pun di sembarang tempat. Tidak ada yang meminta saya untuk memindahkan motor atau hal-hal lain. Beberapa anak-anak yang sedang bermain di lapangan tengah tampak tidak terlalu peduli dengan kehadiran saya. Saya pun segera berfoto-foto. Untuk anda perhatikan, bahwa di jalan masuk menuju Desa Pallawa ini banyak sekali terdapat deretan Tongkonan yang akan anda temukan. Hati-hati, itu bukan Desa Pallawa namun pekarangan rumah orang. Hehehehe. Jangan sampai salah masuk yach. Desa Pallawa yang menjadi objek wisata memiliki plang cagar budaya sebagai pembeda dengan properti pribadi milik perorangan.
Lama berfoto di Pallawa cukup menyenangkan. Selain bisa berteduh dari sengatan panas matahari, objek foto yang didapat sangat banyak dan beragam. Aneka Tongkonan dan Alang di tempat ini kebanyakan masih asli dan masih natural. Jumlah Alang dan Tongkonan juga menjadi daya tarik yang amat kuat bagi Pallawa. Keasyikan saya berfoto akhirnya terusik saat seorang ibu mendekati saya dan menyodorkan buku tamu. Ternyata, ia adalah penjaga loket Pallawa. Ia tidak tinggal di dalam loket tiket namun di rumah biasa di depan Pallawa. Begitu ada turis, ia baru keluar dan menyodorkan buku tamu sekaligus meminta retribusi sebesar RP. 10.000/pengunjung. Nggak hanya itu saja, seusai saya mengisi buku tamu, ia mengeluarkan dua potong kain dari dalam tasnya. Ternyata, ia menjual aneka kain tenun maupun kain cap dari Toraja maupun Mamasa. Harganya bervariasi dan bisa ditawar. Sebenarnya, saya nggak berminat ingin membeli kain berhubung pada kunjungan ke Toraja yang lalu, saya sudah cukup banyak memborong. Namun, ibu tersebut sedikit memaksa dan memohon-mohon. Saya pun luluh. Saya pikir, gak papa dech, kainnya bisa digunakan untuk Rambu Solo nanti kali yach. Hehehe. Akhirnya, saya mendapatkan sebuah kain cap Mamasa yang bisa dililitkan di pinggang seharga Rp. 50.000. Tentu, harga ini sudah mencakup perjuangan berat tawar menawar. Usai berbelanja, saya mendekati areal perkampungan dan baru sadar ternyata ada banyak toko souvenir di dalam kompleks Desa Pallawa namun tampak tidak terurus dan dijagai. Koleksi baik jumlah maupun jenis souvenir yang dijual di tempat ini pun tidak terlalu banyak. Beberapa penjaga toko terlihat sedang menjagai anaknya. Beberapa lainnya ada yang sedang menjemur gabah. Mereka memiliki banyak kegiatan lain selain berjualan souvenir. Beberapa lainnya bahkan menjadikan Tongkonannya sebagai ruang pamer souvenir.
Ketika melintas diantara deretan Tongkonan tersebut, seorang nenek yang sedang duduk di depan Tongkonan melambai dan memanggil saya. Tampaknya sang nenek kurang bisa berbahasa Indonesia. Dalam keterbatasan bahasa dan ditunjang bahasa tubuh, ia menawarkan saya untuk masuk ke Tongkonannya. Saya kaget, saya nggak yakin, apakah saya boleh memasuki area privat warga Toraja seperti ini. Namun seorang ibu yang berada di samping nenek tersebut berkata, “sudah nggak papa, masuk saja, lihat-lihat”. Hmm...antara kaget, takut dan senang. Ada apa yach, koq saya ditawari masuk ke dalam Tongkonan? Saya pikir, saya diajak masuk ke dalam Tongkonan untuk melihat-lihat seperti apa bagian dalam Tongkonan. Asyik! Saya pikir ini sejenis promosi pariwisata Toraja. Pertama, saya sich senang-senang saja karena berhasil melihat seperti apakah bagian dalam dari sebuah Tongkonan. Namun, saya terkejut ketika mencapai bagian dalam Tongkonan dan menjumpai aneka pernak-pernik dan souvenir tertata rapih di segala sudut rumah. Hehehe. Strategi marketing yang bagus! Ternyata, si nenek berjualan di dalam Tongkonan ini. Beberapa dari souvenir tersebut ada yang sangat unik dan ajaib seperti aneka topeng yang enigmatik, kalung kuku babi, uang logam jaman dahulu, badik bersarung kain, kotak dengan ukiran, dan alat musik. Jumlah souvenirnya beragam namun beberapa diantaranya tampak lusuh dan berdebu. Tampaknya mereka jarang sekali kedatangan turis. Hal ini sangat berbeda dengan Ke'te' Kesu'. Di Ke'te' Kesu', souvenir hanya dipajang saja dan turis akan datang untuk menawar. Di Pallawa, beberapa souvenir tampak terabaikan dan tidak terawat. Jelas sekali, turis reguler jarang mencapai tempat ini. Mereka sangat senang sekali begitu ada turis datang dan melakukan segenap usaha untuk memastikan agar turis membeli, walaupun harus sedikit memaksa dan memohon-mohon. Di Ke'te' Kesu', mereka tidak perlu berupaya keras. Gantung dan pajang saja barang tersebut, dijamin ada yang membeli. Karena kasihan terhadap nenek yang sudah mengundang saya untuk masuk ke dalam Tongkonannya, saya akhirnya membeli satu potong kain syal tenun Toraja. Kain tenun ini berharga Rp. 60.000, setelah proses menawar mati-matian. Maaf yach bu, saya bukan turis berkoper. Saya turis backpacker yang dananya pun terbatas. Hehehe.
Selain membeli souvenir di dalam Tongkonan, akhirnya saya berkesempatan juga untuk melihat bagian dalam Tongkonan. Jujur saja, Tongkonan jelas bukan rumah favorit saya. Bagian dalam Tongkonan semuanya terbuat dari kayu. Penerangan hanya seadanya yang bersumber dari jendela-jendela kayu kecil di dua sudut rumah. Tongkonan jelas membutuhkan lebih banyak perawatan dibanding rumah tinggal biasa. Material Tongkonan yang banyak berasal dari alam membuat banyak hal bisa hidup disini, termasuk tanaman paku dan larva serangga. Ibu (atau nenek) yang menawarkan saya dagangannya tersebut ternyata tinggal di sudut belakang Tongkonan. Pada bagian depan, dipajanglah semua aksesoris dan souvenir yang ia miliki. Kasur tidur milik nenek tersebut diletakkan di bagian belakang. Mungkin memang ada Tongkonan yang berukuran besar dan luas yach, tapi Tongkonan yang saya masuki ini berukuran cukup kecil.
Memang, Pallawa tidak bisa dibandingkan dengan Ke'te' Kesu'. Ke'te' Kesu' mengklaim diri sebagai desa wisata yang lengkap karena memiliki fitur kubur batu, erong, tau-tau dan kubur modern. Semuanya ini ditunjang dengan akses jalan yang bagus dan mudah dicapai. Ke'te' Kesu' maksimal berjarak 10 menit dari Rantepao. Pallawa tidaklah demikian. Fitur utama di tempat ini hanyalah pemandangan khas Toraja dan toko souvenir. Tidak ada gua tempat mayat,kubur batu, atau kubur lainnya disini. Hanya desa adat Toraja dan penjualan souvenirlah yang menjadi andalannya. Ditambah dengan akses jalan yang kurang baik, kalahlah Pallawa dari Ke'te' Kesu'. Saya akhirnya kembali lagi ke ruas Sa’dan - Rantepao. Cukup sudah penjelajahan saya akan lokasi-lokasi wisata di Tana Toraja Utara.

3 komentar:

  1. menarik sekali membaca pengalamanmu menjelajah daerah2 off the beaten track. tapi kayaknya masalah transportasi paling merepotkan ya. pastinya gak ada petepete kan?!

    ReplyDelete
  2. hehehehe...sebenernya ini nggak terlalu "off-the-beaten-track koq" hehehe...jalurnya udah ada, dan udah dinominasikan sebagai lokasi wisata juga :D

    Yup, transport adalah masalah yg paling ribet. Di banyak tempat di Indonesia masih seperti ini yach :D. Pete-pete sih ada tapi melintas dalam jumlah yang sangat jarang *seriously, kayaknya cuma 1 petepete per rute deh...hahaha*

    ReplyDelete