Saya sudah pernah bilang belum, kalau kijang dari Makassar menuju Bulukumba atau sebaliknya akan berhenti satu kali di tengah rute? Jarak 5 jam perjalanan memang lumayan panjang kalau dimaratonkan tanpa istirahat sehingga perhentian sekali perlu banget biar para penumpang bisa istirahat dan meregangkan tubuh. Apalagi, jam keberangkatan kijang yang umumnya pagi akan bertemu tengah hari tepat di tengah-tengah rute. Makan siang menjadi agenda utama perhentian kijang. Kalau pada saat keberangkatan, kijang yang saya tumpangi berhenti di Bantaeng, kali ini pada saat pulang, kijang berhenti di Bontosunggu, Jeneponto. Sayangnya, kijang berhenti di depan Warung Pangkajene dan Coto Makassar, bukan Coto Kuda yang membuat saya penasaran.
Segera, semua penumpang turun dan masuk ke warung tersebut untuk memesan makanan. Maklum, waktu itu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sudah saatnya mengisi perut. Sebelum masuk, saya sempat-sempatnya berkeliling di sekitar warung, mencari kemungkinan adanya penjual Coto Kuda di sekitar. Sayangnya, dalam jarak pandang saya, tidak ada warung Coto Kuda yang terlihat. Saya mencoba untuk bertanya kepada warga sekitar dan hasilnya negatif, tidak ada warung Coto Kuda dalam radius dekat. Ya sudah, saya tidak mau mengambil resiko, lebih baik saya makan di warung yang ditunjuk agar tidak ditinggal pergi saat jam makan siang selesai. Ribet juga kalau sampai ditinggal disini. Pasti, saya harus bersusah payah mencari kijang yang kosong atau alternatif terburuk, naik pete-pete sambung menyambung dari satu kota ke kota lain. *TIDAKKKKKKK!!!!*
Yah...seperti yang sudah saya duga dan prediksi, saya akhirnya memesan Konro Sapi. Sayang sekali tidak ada menu kuda disini padahal saya sudah penasaran banget. Ini membuktikan, walaupun di Jeneponto, Coto Sapi pun sesuatu yang lumrah ditemui disini, tidak mesti kuda melulu. Rumah makan tersebut sama seperti yang umum ditemui, terdiri atas sejumlah meja dan kursi sederhana, di sekitarnya para pelayan berseliweran menyajikan menu. Siang itu, rumah makan tersebut ramai. Kebanyakan pelanggannya adalah warga lokal walaupun terdapat pula satu gerombolan turis asing yang berasal dari Tanjung Bira, makan disini. Saya bahkan bertemu dengan tetangga saya di Nini’s Guest House, makan di tempat ini. Apakah sebegitu terbatasnya tempat makan atau memang rumah makan ini adalah satu yang terbaik? Untuk soal rasa, saya sich ngerasa konronya enak tapi ya itu, hanya enak saja. Tidak ada sesuatu yang benar-benar nendang yang membuat saya teringat-ingat dan ingin kembali untuk mengulanginya lagi. Bisa jadi juga mungkin karena saya sudah bosan dengan coto atau konro kali yah? Hihi...untuk satu porsi konro dengan nasi, saya dikenakan harga Rp. 20.000 saja, tidak berbeda jauh dengan konro di Bantaeng, Rp. 25.000. yang menarik terjadi di tempat ini yaitu beberapa orang bapak-bapak (mungkin pegawai pemda Jeneponto –terlihat dari seragamnya-) bertanya tentang apa yang saya lakukan di Jeneponto. Setelah saya menjawab bahwa saya adalah seorang penulis, kemudian mereka bercerita tentang kabupaten ini. Walaupun menurut saya Jeneponto itu panas dan kering, namun menurut mereka situasi ini biasa saja. Mereka berkata iklimnya Jeneponto memang seperti ini. Mereka bahkan mewajibkan saya melihat Jeneponto di kala sedang banyak hujan, Jeneponto akan menjadi indah, begitu promosi bapak-bapak tersebut. Iya dech pak, doakan saya ada rejeki dan waktu lagi untuk bisa main-main dan mungkin, menjelajahi Jeneponto lebih detail yach Pak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment