Akhirnya, di ujung perjalanan, tiba juga di Makula. Dua Tongkonan menyambut saya di pintu gerbang Makula. Rasanya sudah sejam perjalanan, saya memasuki pertigaan arah Sangalla sampai tiba di Makula ini. Anda nggak akan bisa membayangkan, jalanannya tidak terlalu lebar, sepi, kanan kiri dipenuhi sawah, bukit dan terkadang satu-dua rumah. Makula berada di ujung ruas jalan ini. Walau jalan yang saya lalui masih berlanjut terus, namun banyak masyarakat lokal mengatakan di ujung sana tidak ada apapun lagi yang bisa dilihat. Tidak direkomendasikan untuk diteruskan karena tujuannya tidak jelas. Dari Makula sebenarnya ada jalan yang bisa menembus langsung menuju Makale. Di beberapa peta, ujung jalan Makula bersambungan dengan ruas lain yang menuju Makale. Setelah bertanya sana-sini, ternyata ruas yang dimaksud adalah ruas kecil (lebih kecil dari jalan menuju Makula), bergelombang dan berbatu-batu, lebih berjibaku lagi pokoknya. Sang Ibu pemilik warung (warungnya persis terletak di pertigaan jalan ini) tidak menyarankan saya untuk melalui jalan tersebut. Walau dekat, namun sehubungan dengan kondisi jalan, waktu tempuhnya bisa lebih lama dibanding ruas utama yang yah...masih sedikit ada bopeng dan halangan.
Tadinya saya pikir Makula itu adalah suatu desa. Suatu desa yang hidup dari ‘air panas’ ini seperti Sawangan atau Parung di Jawa Barat. Sampai di Makula, saya terperangah. Ternyata, Makula itu adalah sebuah hotel, restoran dan pemandian air panas. Jadi, ini toch Makula? Begitu pikir saya. Saya beranjak masuk dan membayar harga tiket Rp. 8.000, harga untuk orang lokal. Ternyata, yang namanya pemandian air panas adalah sebuah kolam renang berkeramik yang diisi dengan air panas asli pegunungan. Kolam renang yang tidak terlalu lebar dan terletak di udara terbuka itu pada saat kunjungan hanya diisi oleh satu keluarga besar yang berbicara entah bahasa Meksiko atau Spanyol. Selepas keluarga tersebut beranjak, kolam tersebut sepi. Hanya diisi oleh saya sendiri.
Aneh juga rasanya berendam sendirian begini, siang hari (saat itu menjelang pukul 11 siang), dimana airnya tidak sepenuhnya hangat, terkadang saya bisa merasakan air dingin yang tidak tercampur sempurna dengan air hangat. Jadilah siang itu saya hanya main-main air ala kadarnya dimana kehadiran seorang teman mungkin bisa menambah ramai suasana. Sayang sekali, padahal kondisi sekitar kolam sangat damai dan tenang. Rimbun pepohonan dan bebatuan buatan ditata dengan cukup rapih di sekitar kolam. Untuk yang merindukan liburan yang benar-benar total dari rutinitas dan kesibukan, Makula mungkin bisa dijadikan pilihan. Selain benar-benar bisa digunakan untuk relaksasi dengan air panasnya,jarak yang cukup jauh dari jalan raya utama membuat tempat ini tidak begitu ramai dan berisik. Walaupun jalan di depan hotel sudah beraspal, kendaraan yang melintas dalam satu jam bisa dihitung dengan jari dech rasanya. Kalau saja nggak ada event perpindahan pendeta dari satu gereja ke gereja lainnya siang itu, mungkin saya nggak akan melihat satupun keramaian di ruas jalan tersebut pada siang itu.
Hampir setengah jam saya bertahan di dalam air dan kemudian memutuskan beranjak setelah siang makin tinggi dan tidak menyenangkan berendam sendirian di dalam air begitu saja. Makula, walaupun kolam renangnya berukuran kecil, memiliki 3 buah kamar mandi yang berair dingin untuk membilas tubuh seusai berendam. Saya tidak sempat mencicipi makanan restoran Makula karena bersiap mengejar objek wisata berikutnya. Walau Toraja cukup dingin, sengatan matahari pada pukul 11 siang boleh dikata lumayan juga loch. Panas menyengat. Motor yang saya parkir di depan hotel menjadi panas menyengat di bagian joknya sampai tidak bisa diduduki. Menunggu lagi dech...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
nanggung banget sih kalo airnya kurang panas. hehe
ReplyDeletemasalahnya udah siang juga Bro....kalau panas banged jadi mateng dah...wakakakak....
ReplyDeleteyang salah sich orangnya, kenapa gak pagian aja datangnya...wekekeke...