Kebahagiaan saya yang membuncah saat pete-pete meninggalkan Tanjung Bira tak lama lenyap sudah. Pete-pete yang hanya mengangkut saya seorang itu berhenti cukup lama di Pelabuhan Bira, tempat bersandarnya kapal-kapal dari Kabaena, Sulawesi Tenggara. Padahal, kalau tiba di Makassar tepat waktu, saya masih ingin berkunjung ke Malino loch. Hihihi...Entah hitungannya bisa pas atau tidak namun dengan berhentinya pete-pete cukup lama di pelabuhan ini membuat rencana saya kandas. Walaupun bapak tersebut berkata hanya menunggu sebentar, namun ia mematikan mesin dan pergi merokok di dekat dermaga sana. Tanda pete-pete ini tidak akan berhenti sebentar, tapi lama. Daripada bosan dan kesal sendiri, mendingan saya ikut turun dari pete-pete dan melihat keadaan sekeliling.
Ternyata, saya berada masih tidak terlalu jauh dari Tanjung Bira yang saya tadi tinggalkan. Berbeda dengan pantai dan laut di Tanjung Bira, pantai dan laut di Pelabuhan Bira berangin keras dan berombak besar. Pantainya dibeton oleh dermaga sehingga ngga ada sama sekali orang yang nekad untuk berenang di pantai ini. Cukup berbahaya pastinya. Situasi di pelabuhan ini juga sepi, menurut saya. Banyak sekali kapal-kapal besar hingga kapal kecil dan perahu motor ditambatkan di sisi dermaga. Bahkan ada satu kapal yang sebagian deknya sudah terendam air laut. Entah mau dibuang atau apa saya nggak tahu. Aktifitas yang tampak di pelabuhan ini hanyalah sejumlah supir pete-pete yang pergi menunggu di bangunan ujung dermaga. Jelas sudah, mereka akan menunggu kapal dari Kabaena yang mengangkut banyak penumpang. Siapa tahu satu atau beberapa dari penumpang tersebut bisa naik pete-pete mereka, begitu kira-kira. Seorang pria turis asing yang agak gemuk tampak baru saja meninggalkan wilayah pelabuhan ini. Tampaknya ia baru saja pergi memancing dengan menyewa kapal di pelabuhan ini. Ooo...jadi wilayah sekitar pelabuhan ini cukup oke juga untuk memancing ikan yach? Memang sich, lautan yang berombak keras tersebut airnya bersih sekali. Sayang, kumpulan sampah tampak menumpuk di salah satu sisi dermaga. Terbawa angin dan air tampaknya sehingga sedikit banyak menimbulkan pemandangan nggak sedap. Tampaknya itu saja kegiatan yang tampak jelas di mata saya di siang itu. Jelas, bukan pelabuhan yang ramai dan banyak orang hilir mudik. Kesibukan baru kentara ketika ada kapal merapat. Kalau begitu, mari kita berfoto-foto sekeliling saja. Untungnya, pemandangan di sekitar pelabuhan lumayan. Birunya laut dikelilingi oleh perbukitan kecil yang hijau dan deretan rumah penduduk. Ditambah dengan formasi awan, pemandangannya oke buat saya.
Untungnya, penantian tersebut akhirnya berakhir juga. KM Belida, kapal yang berasal dari Kabaena, Sulawesi Tenggara merapat dan menurunkan banyak penumpang di terminal ini. Banyak penumpang yang memiliki tujuan akhir Tanjung Bira dan sisanya Tanaberru atau Bulukumba segera menaiki pete-pete yang tersedia. Inilah ujung dari penantian cukup lama (hampir satu jam rasanya) di Pelabuhan Bira. Saya dibawa ke Tanaberru untuk kemudian berganti dengan kijang yang akan membawa saya ke Makassar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Saya pertama kali ke pelabuhan Bira sekitar tahun 1983, ketika melakukan camping bersama ratusan teman siswa SMA Negeri 1 Bulukumba. Izinkan dan maafkan saya memuat ulang tulisan ini ke alamat http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/2010/12/biru-hijau-dan-lamanya-pelabuhan-bira.html, trims
ReplyDeleteHalo Daeng Asnawin :)
ReplyDeleteTerima kasih sudah bersedia memuat kembali cerita ini dalam blog Bulukumba anda. Sukses untuk anda dan blognya :)
Kalau boleh bercerita, seperti apakah kondisi pelabuhan Bira pada tahun 1983 waktu itu? Berbedakah dengan yang di foto?