Seperti saat kedatangan, dari Rantepao dan Makale, masih cukup jauh untuk mencapai pintu keluar wilayah Tana Toraja. Kurang lebih waktu satu jam dibutuhkan untuk mencapai daerah pinggiran ini. Keasyikan dari berangkat pada siang hari adalah indera penglihatan anda akan terpuaskan oleh pemandangan manis di sekitar anda. Keluar dari Makale, anda akan menjumpai rumah-rumah asli warga Toraja, baik yang asli Tongkonan maupun rumah biasa. Anda juga pastinya akan melewati deretan sawah, perbukitan, gereja, tebing-tebing, dan tentu saja, kalau beruntung, kompleks pekuburan. Jalan lingkar luar yang saya lalui ini memang tidak terlalu lebar. Maksimal hanya bisa dilalui oleh dua buah kendaraan saja, padahal jalur ini adalah jalur dua arah. Kebayang donk sempitnya jalur yang harus dilalui?
Pada saat kedatangan, saya nggak bisa melihat pemandangan sama sekali karena tertutup oleh kabut super tebal. Adanya kabut memberikan nuansa tersendiri terhadap pemandangan di Tana Toraja. Namun, tidak adanya kabut pun memberikan warna yang berbeda pula terhadap pemandangan alam Toraja loch. Indah! Wilayah Toraja yang memang bergunung dan berbukit menjadikan tidak sedetikpun anda berada di jalur yang lurus. Bus yang anda tumpangi pasti berkelok naik turun kiri kanan mengikuti kontur permukaan jalan. Sayang, saya sudah tidak berminat foto karena menahan dorongan ingin mabuk di jalanan yang kejam tanpa ampun ini.
Tak lama, satu jam berlalu di kala rumah penduduk sudah semakin sedikit. Tiba-tiba, kami sampai di sebuah gerbang batu dengan Tongkonan bertengger di atap gerbang batu tersebut. Tulisan di atas gerbang batu tersebut berbunyi “Selamat Jalan”. Ooh....disinilah rupanya pintu masuk maupun keluar dari wilayah Tana Toraja. Berarti, selepas dari pintu gerbang ini, kami sudah memasuki wilayah Enrekang. Walaupun wilayah Enrekang sedikit banyak mengenal kubur batu juga, namun ajaibnya, aneka Tongkonan dan gereja yang kami lihat sepanjang jalur sebelum pintu gerbang, tiba-tiba tidak tampak lagi selepas pintu gerbang. Pemandangan yang kami lihat hanyalah rumah dengan arsitektur Bugis. Betapa unik perpindahan identitas kebudayaan yang saya alami disini. Perubahan identitas kebudayaan hanya dibatasi oleh pintu gerbang saja. Nah, selamat tinggal Tana Toraja, kita pasti akan bertemu lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment