Ternyata, perjalanan dari Enrekang sampai ke Pare-Pare jauh banget! Rasanya, bus yang saya tumpangi nggak sampai-sampai. Pertama-tama, saya masih bersemangat melihat pemandangan di kanan kiri saya. Pemandangannya lumayan untuk dilihat, apalagi di area pegunungan dan hutan-hutan yang sesekali berseling desa. Namun, lama kelamaan, pemandangan serupa yang itu-itu saja selama berjam-jam, ditambah cuaca yang saat itu memang panas, membuat mata saya tinggal bersisa sekian watt saja. Jadi ngantuk rasanya. Beberapa kali saya jatuh tertidur di dalam bus dan terbangun beberapa saat kemudian dan mendapati diri saya masih di Enrekang!
Kota Enrekang yang saya lewati pun tidak terlalu signifikan bentuknya seperti sebuah kota. Hanya ada satu buah pasar yang cukup ramai di tengah perlintasan yang saya lalui. Selepas itu, bus kembali memasuki area hutan dengan rerimbunan pohon dan kemudian bertemu lagi dengan beberapa desa. Desa-desa yang saya jumpai juga memiliki rumah adat yang hampir serupa modelnya, sepanjang perjalanan. Rumah panggung yang mereka bangun memiliki semacam pucuk berbentuk silang di bubungan tertinggi atapnya. Saya sich inginnya hanya tidur saja. Namun, saya kesulitan tidur karena bus bergerak berkelok-kelok naik turun. Lebih daripada itu, hawa panas berputar di dalam bus. Jangan kira hawa pegunungan di Enrekang dingin yah. Walaupun berstatus pegunungan dan berhawa segar, saya nggak merasakan dingin sama sekali.
Satu hal yang cukup menarik disini adalah saya melewati Kota Kalosi. Buat anda penggemar kopi, pasti sedikit banyak pernah dech mendengar tentang nama Kalosi ini. Yang menarik, Kalosi ternyata bukan berada di Tana Toraja, namun ada di Enrekang. Kalosi sendiri sebenarnya merupakan tempat pengumpul kopi dari wilayah-wilayah di sekelilingnya. Wajar, jika kemudian nama Kalosi Toraja menjadi sedemikian terkenalnya dibanding tempat asal menanam kopi tersebut yang berada entah dimana di dataran tinggi Toraja dan Enrekang ini. Tidak terlalu banyak aktifitas kegiatan masyarakat yang tampak di daerah ini. maklum, namanya juga kota kecil. Tapi saya menemukan sejumlah pedagang kecil yang menjual kopi-kopi dalam kemasan yang sudah bisa diduga itu adalah Kopi Kalosi-Toraja. DI beberapa tempat bahkan saya melihat proses penjemuran kopi yang dilakukan di atas karung goni. Kopi-kopi tersebut berwarna terang, belum digoreng, beda seperti yang kita lihat selama ini ketika sudah masuk ke dapur. Nah, kopi-kopi yang masuk ke Kalosi berasal dari daerah-daerah sekitarnya, dataran tinggi yang berhawa dingin mencakup wilayah Tana Toraja dan Enrekang atau berada di sekitar Rantemario dan Rantekombola. Harga kopi yang dijual disini cukup murah (dalam hitungan ribuan saja) untuk satu kemasan kertas coklat dan dilabeli ala kadarnya. Beda banget harganya kalau sudah masuk café atau supermarket terkenal, harganya bisa berkali-kali lipat. Maklum, membawa kopi ini turun gunung juga butuh perjuangan banget sich. Hehehe...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment