Sekitar dua jam perjalanan dari Rantepao (bus baru benar-benar meninggalkan Rantepao pukul 9 pagi alih-alih pukul 8 karena harus mengangkut orang disana-sini dan bolak-balik), setelah terguncang-guncang dalam medan gunung yang tidak rata, setelah isi perut terkocok-kocok, bus memelan dan menepi. Saya bersorak gembira (dalam hati). Segera, walaupun pusing, saya bergegas untuk keluar dari dalam bus. Penasaran, mengapa bus berhenti disini.
Menurut informasi yang banyak saya dapatkan, umumnya Bus Toraja akan berhenti sebanyak dua kali dalam perjalanan Toraja – Makassar atau sebaliknya. Umumnya, satu perhentian terjadi di Gunung Nona dan satu lagi di Pare-Pare. Berhentinya bus dimaksudkan agar para penumpang beristirahat. Nah, latar belakang pemandangan yang saya temui ketika turun dari bus adalah pemandangan gunung yang hijau namun hampir botak. Pasti, Gunung Nona berada tidak jauh dari sini. Saya berada di Taman Nasional Bamba Puang, siang hari.
Bus yang saya tumpangi ternyata berhenti di kios oleh-oleh. Saya sebelumnya sudah bercerita tentang oleh-oleh pagi-pagi buta di Taman Nasional Bamba Puang. Nah, ini adalah bentuk pencarian oleh-oleh yang sama. Bedanya, ini dilakukan pada siang hari. Kios tempat bus berhenti bernama Kios Salak Duri Ra’Cak yang masih terletak di jalur Pare-Pare – Toraja. Desa tempat saya berdiri ini bernama Desa Mampu yang terletak di perbukitan wilayah Enrekang. Sesuai namanya, produk unggulan kios ini adalah buah salak. Gambar salak sendiri menghiasi plang nama kios ini. Aneka salak berjejer dalam balutan daun pengikat atau ditampung dalam ember-ember plastik kecil. Tampaknya salak yang berukuran sedang ini adalah komoditas unggulan daerah ini. Nggak hanya itu saja, aneka makanan kering seperti dodol, ketan, keripik, kacang-kacangan juga dipajang di kios ini. Makanan kering-keringan seperti ini adalah produk khas Enrekang. Beberapa produk bahkan sudah menyertakan lokasi pembuatan yang tertulis “Jalan Raya Poros Makassar Tator Lura Enrekang”. Artinya, hampir semua lini produk yang dijual disini memang hasil kreasi rumah tangga yang terdapat di Enrekang ini. Hampir semua produk makanan ini dibungkus plastik dalam kemasan. Beberapa produk seperti ketan yang dibungkus dedaunan sudah dimasukkan ke dalam plastik-plastik warna kuning yang digantung di bagian atas kios. Untuk alasan kepraktisan pastinya, agar pengunjung bisa langsung mengambil dan membayar satu set oleh-oleh dalam plastik tersebut. Cukup kreatif, kalau saya bilang.
Hampir semua orang yang turun dari bus melakukan belanja. Sisanya berkumpul di bagian lain kios, mengobrol sambil mengebul. Memang, di kios ini juga terdapat penjualan makanan ringan yang umum ditemui dan minuman. Nggak heran, banyak orang yang duduk bersantai-santai dan memesan minuman ringan. Saya sendiri seperti biasa, nggak membeli satu oleh-oleh pun kecuali minuman ringan manis untuk menetralkan rasa kering di mulut saya. Pertimbangannya, sesampainya saya di Makassar, saya masih harus berburu kendaraan ke Bira. Akan sangat merepotkan kalau saya nekad sampai membeli salak dan lain sebagainya. Oleh-oleh telah mendapat porsinya pada hari terakhir saja. Alhasil, selain mengamati kios, saya juga hanya berfoto-foto saja dan berjalan sekeliling kios untuk melihat pemandangan gunung. Beberapa rumah dengan arsitektur Bugis yang terdapat di sekeliling kios menarik juga untuk difoto. Bus berhenti sekitar setengah jam demi memberi kesempatan pada para penumpang yang ingin berbelanja. Seusai setengah jam, bus kembali berjalan membawa kami semua ke selatan, pulang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment