Messawa adalah salah satu kecamatan Mamasa yang paling bawah, berbatasan langsung dengan Anreapi dan Tapango di Polewali. Seperti layaknya lokasi manapun di Mamasa, Messawa terletak di ketinggian pegunungan. Pemandangan khas wilayah ini adalah perbukitan hijau yang mengelilingi dimanapun kita memandang. Tak jarang, awan dan kabut memenuhi puncak-puncak bukit dan gunung di wilayah ini. Suhu di Messawa hampir selalu dingin setiap saat. Walau dingin, Messawa ini belum berada di puncak Mamasa loch. Jalanan masih akan terus menanjak selama kurang lebih 4 jam lagi.
Tadinya saya sudah kuatir akan melewatkan makan siang dan baru berjumpa makanan berat setelah tiba di Mamasa Kota yang artinya sudah gelap. Wah, bakalan membosankan juga nich berjam-jam di dalam kijang menahan lapar dan menahan mabuk. Hahahaha. Maklum, jalanan di Mamasa kan cakep banget tuh. Wajar banget kalau saya bisa-bisa jackpot berkali-kali. Beberapa travel agent yang saya tanyakan saja hampir selalu menolak kalau saya mengajukan permintaan ke Mamasa. Entah jalanannya rusak, hujan yang turun terus, hingga berbagai macam alasan yang ujung-ujungnya akan membengkakkan biaya total perjalanan yang pastinya akan membuat saya mundur. Biaya perjalanan ini terasa konyol sekali dibandingkan dengan Tana Toraja yang sudah memiliki akses Trans-Sulawesi. Saya mencoba untuk membuat Mamasa dalam jadwal perjalanan saya dan saya tercengang akan harga yang saya terima. Pencabutan Mamasa membuat total biaya perjalanan saya jadi murah meriah. Jalan-jalan ke Tana Toraja terhitung sangat murah apabila dibandingkan dengan Mamasa. Tapi saya nggak menginginkan Mamasa dicabut. Saya harus dan wajib berkunjung kesini. Maka dari itu, dengan segala cara, saya melakukan perjalanan ini. Saya nekad ke Mamasa walau kejelasan angkutan yang akan membawa saya kesana tidak ada sama sekali.
Untungnya, harapan saya terkabul. Kijang yang saya tumpangi berhenti di Messawa untuk makan siang. Kayaknya, kijang atau kendaraan dengan jarak tempuh di atas 4 jam akan memiliki satu sesi khusus yach untuk berhenti, beristirahat dan makan siang? Yach, yang jelas saya sangat bersyukur banget kijang ini berhenti biar para penumpangnya bisa mengisi perut. Hehehe. Namun, saat saya turun, saya tercengang. Lagi-lagi saya tercengan. Saya menemukan tulisan Sop Betawi di salah satu papan rumah makan yang ada disini. Ya elah, jauh-jauh ke pedalaman Sulawesi, makannya nggak jauh-jauh dari Sop Betawi. Hahaha. Saat itu saya edarkan pandangan saya berkeliling dan saya baru menyadari, hampir (atau tepatnya, seluruh) rumah makan di Messawa ini dikelola oleh orang Jawa atau orang Pangkep. Rumah makan yang tampak adalah rumah makan Pangkep yang terkenal dengan Sop Saudaranya dan rumah makan Jawa atau Jakarta dengan hidangan khas seperti ayam goreng, gado-gado, bakso, dan nasi sop. Sayang sekali, nggak ada makanan khas Mamasa sama sekali.
Yah, saya pun nggak bisa memilih koq. Rombongan kami masuk ke dalam salah satu rumah makan Pangkep. Rumah makan ini terlihat paling ramai dan menyediakan menu paling banyak diantara rumah makan lainnya. Beberapa menu khas rumah makan ini adalah Coto Makassar, Nasi Ayam Goreng, Cumi-Cumi, Ikan Laut Goreng, Sop Betawi, Sop Konro, Sop Saudara dan Sate Ayam. Unik juga, di tengah-tengah gunung begini seafood masih bersaing rupanya. Saya memesan Sop Saudara dech, biar cita rasa Sulawesinya masih kentara. Nggak lucu donk jauh-jauh ke Sulawesi terus makannya sesuatu yang biasa kita makan. Pengalaman kemarin makan mie ayam nggak usah diulang lagi dech. Kali ini kan ada pilihan lain. Hehehe. Rasa makanan ini hampir sama seperti Sop Saudara yang sudah saya kenal sebelumnya. Gurih (tambahkan sedikit lagi garam) dan penuh dengan potongan daging (saya sampai kenyang banget). Sop Saudara ini disajikan dengan sepiring utuh nasi. Nasi tambahan disajikan dalam keranjang-keranjang plastik di atas meja. Sudah dua kali saya melihat kejadian ini, yakni di Sengkang dan sekarang di Messawa. Asyik juga sich bisa tambah nasi dengan mudah. Tapi, saya nggak serakus itu. Hehehe. Saya makan secukupnya saja, takut kalau sampai jackpot, semuanya akan dimuntahkan. Masih 4 jam lagi perjalanan menuju Kota Mamasa loch.
Makan siang di Messawa cukup murah meriah lah. Untuk nasi sepuasnya dan satu mangkuk Sop Saudara, saya hanya dikenakan harga Rp. 15.000. Harga makanan lainnya bervariasi mulai dari Rp. 10.000 hingga Rp. 15.000. Nggak terlalu mahal pokoknya. Sayang, waktu para penumpang menghabiskan makanan di tempat ini nggak terlalu panjang. Sayang. Belum selesai saya mengunyah sendokan nasi dan daging terakhir, pak supir sudah bergegas kembali ke mobil dan diikuti oleh sejumlah penumpang yang telah menyelesaikan makanannya. Saya jadi terburu-buru mengunyah dan membayar makanan saya dech. Padahal, saya melihat ada beberapa orang sedang menikmati singkong goreng. Hmm...kayaknya enak dech makan singkong goreng hangat di suhu dingin-dingin begini. Tapi maaf, Mamasa menunggu. Kalau nafsu lidah dituruti, bisa-bisa saya sampai di Mamasa besok kali yach? Hahaha.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment