Danau Tempe adalah danau air tawar yang dangkal. Danau ini pernah dipercaya sebagai sebuah teluk yang memisahkan Enrekang dengan Soppeng. Ketika sedimentasi terus berlangsung, teluk ini terkurung dan menjadi sebuah danau. Proses ini memakan waktu ratusan bahkan ribuan atau jutaan tahun lamanya. Sedimentasi tersebut terus terjadi hingga hari ini. Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, Danau Tempe hanya dikenal sebagai sejarah karena sudah berubah menjadi rawa atau yang lebih parah, daratan. Walau masih berlangsung proses sedimentasi, kehidupan di danau ini unik. Danau ini menjadi tempat hidup berbagai burung-burung air dan lokasi transit burung-burung migran yang melintas benua. Lokasi Danau Tempe dipercaya sebagai salah satu tempat terbaik untuk pengamatan kehidupan burung-burung air. Aneka rumah dan desa banyak berdiri di atas danau dangkal ini. Sebut saja Desa Batu-Batu yang mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah nelayan. Desa ini cukup sering menerima kunjungan wisatawan untuk menikmati suasana danau atau mengamati burung. Profesi sebagai nelayan pun tidak dihindarkan lagi lantaran danau ini dihuni oleh beberapa jenis ikan yang masing-masing bernilai ekonomis tinggi seperti Nila, Emas, Kerapu, Gabus, Lele, Mujair dan Tawes. Danau ini juga menjadi tempat pembudidayaan udang di beberapa titiknya. Ikan-ikan ini memperolah suplai makanan dari rerumputan tinggi yang tumbuh di banyak tempat di danau.
Akhirnya, setelah sekian kali kelokan di pemukiman Kecamatan Tempe, sampai jugalah saya
di tepi Sungai Walannae, Setapak 9, titik terakhir paling dekat dengan Danau Tempe yang berfungsi sebagai dermaga penyebrangan. Disini, anak-anak ramai menyambut saya. Tampak jelas gegar budaya antara kehidupan mereka yang bersahaja dengan kedatangan wisatawan di tempat ini. Mereka hampir selalu menganggap wisatawan yang datang adalah warga asing. Saya pun segera ditawari tour sungai dan danau dengan menggunakan perahu lokal masyarakat Tempe yang disebut Ketinting. Perahu tersebut panjang dan ramping dengan kapasitas maksimal sekitar 5 orang saja. Entah kalau lebih bisa atau ngga. Walaupun masih ada sisa ruang kosong di perahu, namun saya nggak yakin ketinting akan mampu menahan beban kalau diisi beramai-ramai. Sesekali saya melihat ketinting bermuatan satu atau dua orang berlayar di atas sungai. Hampir tidak ada ketinting yang dimuati hingga 4 orang seperti yang saya lakukan. Untuk persewaan ketinting, saya mendapatkan harga Rp. 50.000 untuk sekitar satu jam perjalanan sampai di bibir danau dan sejumlah pemukiman di tengahnya. Sebenarnya, saya sudah enggan mengikuti tour Danau Tempe lantaran hari sudah sore. Namun, bapak becak yang menawarkan saya beserta seorang anak yang nantinya menahkodai ketinting ini meyakinkan saya, perjalanan tour bisa dilakukan dalam waktu satu jam. Ia pun bisa meyakinkan saya bahwa pemandangan terbaik justru didapat saat sore menjelang senja seperti ini. Para periode waktu ini, langit akan berwarna oranye lembayung, sangat cantik. Akan ada banyak burung beterbangan di sekitar danau lantaran ini adalah waktu yang tepat bagi mereka bermigrasi atau sekedar mencari makan. Ya, ia sukses meyakinkan saya. Namun kebalikannya, saya juga sukses meyakinkan anak tersebut bahwa tour bisa didapat dengan harga Rp. 50.000, alih-alih Rp. 100.000 seperti tawarannya semula. Konon, tour sebenarnya bisa berlangsung berjam-jam, bahkan hingga mencapai Desa Batu-Batu yang ada di seberang Danau Tempe dan hanya bisa diakses via air. Namun, keterbatasan waktu yang saya miliki menjadikan tour harus dilakukan dalam waktu singkat saja. Jadilah, saya bersiap menaiki ketinting, mengarungi Sungai Walannae menuju Danau Tempe.
Mulai lah perjalanan eksotis naik ketinting menembus Sungai Walannae dan Danau Tempe pada senja itu. Jujur saja, tampaknya senja memang waktu terbaik untuk menikmati keindahan Danau Tempe. Rona lembayung menimbulkan warna yang luar biasa pada saat pemotretan nuansa alam. Sayang, saya memutuskan untuk berlayar terlalu sore. Alhasil, waktu yang bisa saya nikmati tidak terlalu panjang. Perjalanan menembus Sungai Walannae ternyata masih panjang. Dari Kecamatan Tempe, kurang lebih waktu setengah jam diperlukan untuk mencapai bibir Danau Tempe. Perjalanan tersebut dimulai dengan melewati rumah-rumah, kemudian rerumputan tinggi. Sesekali, dijumpai ketinting lain berlawanan arah atau bersamaan arah. Danau Tempe tergolong dalam wilayah dataran rendah. Suhu tidak terlalu dingin di wilayah ini. Saya sendiri tidak mengenakan jaket ketika berlayar menempuh sungai. Untungnya, saya tidak sampai masuk angin karenanya. Walau anginnya cukup besar namun tidak sampai membuat masuk angin koq. Perahu yang berjalan dengan cepat juga tidak sampai membuat saya mual. Sangat menyenangkan menaiki ketinting menyusuri Sungai Walannae.
Akhirnya, setelah senja semakin pekat dan warna lembayung sudah semakin samar-samar, saya tiba di bibir Danau Tempe. “Pak, ini kita sudah di danau”, kata anak tersebut. Saya amati pinggiran sungai yang tadinya sempit juga mulai meluas. Aneka rerumputan tumbuh dimana-mana alih-alih teratur seperti pagar di kiri dan kanan. Ya, saya sudah berada di tengah danau. Sayang, senja yang semakin pekat menyulitkan saya melihat segala sesuatunya. Saya menjumpai seorang nelayan yang baru mulai menjala ikan namun sayang, ketiadaan sinar menyulitkan saya untuk melihat dengan jelas apa yang ia kerjakan. Sayang, pada waktu-waktu seperti ini nelayan justru mulai banyak yang mendanau (alih-alih melaut). Saya masih bisa melihat siluet pondok samar-samar, wilayah danau yang dipagari dengan keramba untuk pembudidayaan udang, hingga ketinting lain yang berada di sekitar danau. Jarak menuju Desa Batu-Batu masih jauh dan Danau tempe adalah danau yang cukup lebar juga. Sesuai perjanjian, saya tidak mencapai Desa Batu-Batu lantaran sudah malam. Pada saat senja itu pula, saya menyaksikan pendangkalan Danau Tempe tepat di mata saya. Ketika suatu saat perahu ketinting yang saya naiki terantuk akar tanaman dan tidak dapat bergerak, pemuda yang menahkodai kapal dengan sigap turun ke dasar air untuk melepaskan perahu. Ajaibnya, air hanya berada pada ketinggian lututnya saja. Terbukti, danau ini memang dangkal. Namun jujur, saya nggak berani sama sekali untuk mencoba ikut terjun ke dalam danau. Khan saya nggak tahu di dasar danau ada apanya atau sesuatu. Hiyyy...terlebih malam yang sudah benar-benar pekat membuat saya nggak bisa melihat sekeliling. Hmm...jadi teringat cerita buaya di Sungai Walannae oleh anak kecil di Sengkang tadi. Hiyyyy.
Akhirnya, setelah malam benar-benar pekat, saya akhirnya kembali ke arah pintu masuk danau dan kembali menyusuri balik Sungai Walannae. Justru di saat kegelapan tersebut, saya banyak bertemu perahu-perahu yang hendak menuju danau. Sudah saatnya mencari nafkah kali yach? Tak dirasa, perjalanan yang sedemikian panjangnya tadi pada waktu keberangkatan, menjadi lebih cepat pada saat pulang. Apa karena kita seturut aliran sungai, kah? Setelah membayar dan berterima kasih, saya diantar kembali oleh bapak becak motor tadi ke Sengkang. Saya melihat Desa Tempe yang sudah benar-benar gelap namun keriaan anak-anak masih dapat saya temui di beberapa sudutnya. Beberapa orang tua sedang mengobrol dengan asyik di balkon rumah masing-masing. Suasana yang gelap justru membuat suasana obrolan tersebut semakin seru saja. Walaupun gelap, tapi Desa Tempe bukannya tanpa listrik. Lampu penerang jalan di beberapa sudut menyala walaupun tidak semua sudut memiliki lampu. Ini sebabnya desa ini begitu terlihat remang-remang. Kemeriahan suara televisi juga terdengar sayup-sayup di salah satu rumah. Tak lama, becak motor yang saya tumpangi kembali ke jalan raya besar dan kembali menghadap arah Sengkang. Saya kembali.
Note : Pada saat penulisan artikel ini, Danau Tempe dan Sungai Walannae sedang meluap. Kondisi ini terjadi setiap tahun saat curah hujan tinggi. Pada waktu La Nina seperti ini, danau ini bisa meluap beberapa kali. Kota Sengkang pun terkadang terendam air luapan Sungai Walannae. Untuk melakukan perjalanan ke Sengkang dan Danau Tempe, sebaiknya cek berita lokal terlebih dahulu. Pastikan, banjir tidak sedang menggenang dan mengganggu perjalanan anda.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment