Tujuan berikutnya adalah titik paling jauh yang akan saya tempuh dalam perjalanan di Lembah Mamasa, Desa Balla Peu. Keputusan untuk menyambangi Balla Peu harus terlebih dahulu dilakukan lantaran kami ingin menghindari hujan yang biasanya turun sore menjelang malam di Mamasa. Walaupun ada sejumlah objek menarik yang terdapat di rute Kota Mamasa – Desa Balla, kami melewati semua itu lantaran target utama kami adalah Desa Balla Peu. Perhentian ke spot spot menarik yang terletak dalam rute Kota Mamasa - Desa Balla akan dilakukan sepulangnya nanti dari Balla Peu. Ya, saya berharap, hujan tidak turun sore maupun malam nanti. Biarlah cerahnya langit mendampingi perjalanan ini. Pak Supir ojek melakukan pengisian bensin terlebih dahulu sebelum menuju titik terjauh dari Kota Mamasa ini.
Maka, mulailah perjalanan panjang kami menuju Desa Balla Peu. Pertama-tama kami melewati jalan negara yang lumayan cukup mulus sampai kemudian berbatu-batu setelah melewati Kota Mamasa. Jalanan beraspal dengan batu-batuan yang tidak rata mendominasi perjalanan ini. Di beberapa titik tampak proses pembetonan jalan tanah liat. Kendaraan berat dan mesin penghalus jalan diparkir di beberapa sudut jalan ini. Pemandangan yang kami saksikan semuanya menakjubkan. Walaupun panas, tapi udara cukup segar karena secara keseluruhan Lembah Mamasa berhawa sejuk dan dingin. Pemandangan rumah tradisional, gereja, deretan pohon pinus dan cemara, rumput tinggi, bukit-bukit yang menutupi lembah ini beserta sungainya terus menemani perjalanan ini. Walau demikian, sudah sekitar setengah jam saya berkutat di jalan negara. Koq tidak sampai-sampai yach? Jauh sekalikah Desa Balla itu? Kemudian, di sekitar Desa Balla bagian barat, motor memintas Sungai Mamasa di sebuah jembatan kecil. Kami memasuki gerbang pertama menuju Balla Peu.
Saya nggak akan mengeluh lagi dech kalau ada jalanan rusak parah. Sepanjang pengalaman saya, saya sudah cukup banyak mengalami aneka jenis jalan rusak namun tidak separah Mamasa. Kalau di jalan negara saya terguncang-guncang karena aspalnya berbolong-bolong, maka di jalan desa saya hampir terlempar dari motor lantaran medan yang selalu menanjak dan kondisi jalan yang terdiri atas bebatuan cadas sepanjang ruas jalan. Satu kata : Ajaib! Saya berpegangan erat-erat pada supir dan motor agar tidak sampai terjatuh. Uniknya, sang supir tampaknya sudah cukup lihai membawakan motor tersebut. Ia bahkan bisa meliuk-liuk dengan mudahnya padahal pinggir kami adalah jurang tebing menganga! Jurang tersebut menganga lebar dan menampilkan pemandangan Pegunungan Quarles yang menakjubkan. Saya sudah tidak mampu berkata-kata lagi dan diam saja sepanjang perjalanan. Rute menanjak terus yang kami lalui memang wajib dilalui berhubung Desa Balla Peu terletak di ketinggian. Kalau bukan jalan berbatu cadas dan kerikil, pokoknya jalanannya berupa jalan tanah liat yang super becek dech. Parah.
Di perjalanan menuju Balla Peu, saya melihat ada kompleks pemakaman Tedong-Tedong yang berada tepat di tengah jalan, di atas sebuah sawah. Tulisan objek wisata jelas terpampang disana tapi jangan harap anda bisa melihat wisatawan. Yang tampak hanyalah kesunyian hutan dan beberapa orang petani yang sedang menanam padi. Kami melewatkan Tedong-Tedong ini lantaran ingin mengejar Desa Balla Peu terlebih dahulu. Jarak dari jalan negara hingga Balla Peu memang cukup jauh. Dengan motor saja, jarak sedemikian harus ditempuh dalam waktu setengah jam. Belum lagi batu-batu cadas yang bergelimpangan di tengah jalan, membuat bokong saya mati rasa lantaran terlalu menahan diri untuk tetap menempel di atas motor. Untungnya, derita ini terbayar dengan pemandangan super indah yang tersaji di atas Desa Balla. Rangkaian pegunungan Quarles yang tinggi dan berkabut, dilatari dengan awan kelabu tebal menjadi objek foto yang menarik. Belum lagi koleksi pepohonan yang dimiliki oleh pegunungan memang indah. Semakin indah lah foto-foto yang saya ambil.
Pak supir ojek menunjukkan suatu titik di ujung pegunungan sana. ‘Itulah Desa Balla Peu’, katanya. Waduh, saya langsung lemas melihatnya. Desa tersebut masih cukup jauh. Rasanya perjalanan ini tidak akan selesai-selesai. Saya masih terguncang di atas motor yang menderu kencang di atas jalanan berbatu batu. Sesekali, saya jumpai pengendara motor lain berpapasan arah namun sangat jarang dan dapat dihitung dengan jari. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana mobilitas warga Balla Peu yang ingin keluar atau kembali ke desanya. Pastinya sulit sekali mengingat medannya seperti ini dan tentu saja, tidak ada angkutan umum. Angkutan yang paling bisa diandalkan satu-satunya hanyalah motor pribadi atau ojek. Kendaraan roda empat dengan roda dan mesin yang bagus pun sebenarnya bisa melewati tempat ini karena jalanan berbatunya sudah cukup lebar. Sayangnya, waktu tempuh pasti akan menjadi lebih lama lantaran kondisi medan yang demikian. Daripada menghitung berapa lama lagi waktu yang diperlukan untuk mencapai Balla Peu, saya akhirnya membiarkan mata saya menikmati pemandangan indah yang tersaji.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment