Akhirnya, kurang lebih satu jam dari Osango, kami tiba di Balla Peu. Jalanan yang semula cukup lebar tiba-tiba menyusut dan putus sama sekali, hanya menyisakan jalan kecil untuk orang atau motor melintas. Ada dua buah mobil yang diparkir di pinggir jalan menuju gerbang masuk desa. Gerbang masuk ini tidak bisa dilalui dengan kendaraan roda empat. Wisatawan jugakah mereka? Saya mulai berjalan masuk ke dalam areal desa. Saya disambut oleh beberapa orang penduduk desa yang berada di depan gerbang. Walaupun tampaknya mereka masih cukup asing dalam menerima kunjungan wisatawan, namun mereka bisa menyambut saya dengan baik dan mempersilahkan saya melihat-lihat. Walaupun Balla Peu dinobatkan sebagai salah satu desa wisata paling rapih di seantero Mamasa, namun tempat ini masih berputar layaknya suatu kehidupan desa pada umumnya. Tidak ada loket tiket masuk tempat wisata ataupun kios souvenir yang menjual pernak-pernik. Desa ini benar-benar hidup karena memang masih ditinggali oleh warganya dalam semua rentang usia. Kemanapun saya pergi, saya menjumpai senyum mempersilahkan. Kebanyakan, warga senior yang sudah berumur hanya tinggal di balkon rumah-rumah mereka sambil mengobrol dengan sesamanya. Warga yang masih muda berkumpul di halaman salah satu rumah yang cukup besar dan mengadakan pertemuan disana. Entah, mungkin rumah tersebut adalah balai desa -tampaknya seperti itu-. Walaupun dengan bahasa Indonesia pas-pasan, mereka menyambut saya dengan tulus. Untung saja saya mengajak bapak ojek karena ia cukup mahir menjelaskan segala sesuatunya dalam bahasa Mamasa. Hampir tidak ada aktifitas berarti yang mereka lakukan disana selain berkumpul dan bercengkrama. Suatu kehidupan yang bersahaja! Anak-anak Balla Peu bahkan berkumpul mengelilingi saya dan mengamati, seakan-akan saya ini objek yang sangat menarik.
Desa Balla Peu sendiri merupakan jejeran rumah-rumah khas Mamasa mulai dari Banua Bolong (rumah dokter atau pahlawan masyarakat yang berwarna hitam dan tidak diukir), Banua Longkarrin (rumah rakyat biasa yang tidak berdiri di atas panggung), Banua Rapa (rumah adat dengan strata paling rendah) dan Banua Sura (rumah adat berukir dengan strata yang cukup tinggi, di bawah Banua Layuk, tempat tinggal kepala desa atau ketua adat). Jejeran Banua (Banua dalam bahasa Mamasa adalah rumah) di tempat ini bisa mencapai 100 buah, memanjang dari satu sudut ke sudut lainnya. Dalam satu Desa Balla Peu, ada sejumlah dusun di dalamnya. Hampir setiap rumah memiliki lumbung padi dalam bentuk yang tidak selalu mirip. Bisa saja lumbung padi mereka menyerupai desain Banua sendiri, namun bisa juga lumbung tersebut hanya berupa kotak besar di depan rumah. Unik sekali dech. Ada pusat keramaian di ujung desa sebelah utara. Masyarakat sedang berkumpul merayakan syukuran atas Paska yang baru saja terjadi. Maklum, saat itu, baru beberapa hari selepas Paska. Saya tidak mengikuti kegiatan tersebut, saya memilih mengobrol santai saja bersama bapak-bapak di balai desa. Saya masih bisa merasakan pandangan melekat orang-orang yang menatap saya. Haduh, serasa artis dech. Hahahaha.
Beberapa ornamen unik yang menghiasi sebuah rumah bisa berupa papan nama pendahulu yang telah meninggal, hiasan kepala kerbau (untuk Banua yang stratanya lebih tinggi daripada Banua yang lain), gendang untuk tari-tarian, bambu untuk tari Bulu Londong, tali jerami untuk mengikat kaki kerbau yang akan disembelih dalam upacara adat, ornamen ular di salah satu lumbung, hingga lambang bintang di dalam lingkaran yang sebelumnya tak pernah saya lihat di seantero Mamasa ini. Saya mendapat kesempatan berbicara banyak dengan bapak kepala adat (Ma’parenge atau Madika) yang rumahnya sedang dalam tahap renovasi. Walaupun dalam tahap renovasi, namun hiasan ukiran Mamasa sudah sangat cantik memenuhi sekujur Banua Sura-nya beliau. Ukiran di Banua Sura Ma’parenge sayangnya belum selesai karena belum diwarnai merah, hitam dan putih. Hiasan tersebut masih berwarna kuning. Saya, pak ojek dan Ma’parenge mengobrol di depan lumbung padi miliknya. Ia menjelaskan banyak hal tentang kebudayaan Mamasa, terutama seputaran ornamen unik di sebuah Banua Sura, tari-tarian dan Banua Layuk yang berada di wilayah Mamasa lainnya. Satu hal yang saya baru tahu, tidak semua orang dapat membuat ukir-ukiran pada sebuah Banua. Bahkan Sang Ma’parenge sekalipun tidak dapat membuatnya. Ukiran ini hanya bisa dipesan secara khusus kepada orang yang sudah ahli dan turun temurun menguasai keahlian ini. Orang yang sudah ahli ini umumnya mengetahui urut-urutan ukiran dan maknanya sehingga ia tidak sembarangan mengukir sebuah rumah. Sebuah rumah yang baik harus memiliki filosofi ukiran yang baik sehingga keluarga yang tinggal di dalamnya akan terhindar dari marabahaya dan didatangkan rejeki berlimpah. Walaupun demikian, lanjut Ma’parenge, banyak juga pada saat ini, pengukir yang tidak memiliki keahlian yang memadai namun sudah berani mengukir sebuah rumah. Karena ia tidak begitu tahu akan makna ukir-ukiran tersebut (umumnya diukir dari bawah ke atas), maka akan sangat bahaya kalau sampai bentuk ukiran tersebut terbalik atau salah penempatan. Keluarga yang tinggal di dalamnya bisa terkena tulah atau rejekinya kandas. Seperti itu. Sayang, pada saat kunjungan, rumah Ma’parenge sedang dalam tahap penyelesaian. Seandainya saya datang satu bulan ke depan, maka bisa dipastikan rumah tersebut sudah selesai dan bisa dinikmati kecantikan warnanya. Proses pengerjaan ukiran tersebut bisa berlangsung berbulan-bulan lamanya. Saya banyak mendapat informasi berguna tentang adat Mamasa dari Ma’parenge Desa Balla Peu ini. Saat berniat menyudahi kunjungan dan obrolan yang cukup panjang tersebut, tak lupa, saya menyempatkan diri untuk berfoto bareng dengan Ma’parenge di depan Banua Sura-nya.
Saya melanjutkan perjalanan saya hingga ke ujung deretan Banua di Balla Peu ini. Hasilnya, hampir semua rumah tersusun atas tipe dan model serupa. Masih banyak Banua yang memajang tanduk tedong berjejer di tiang depan rumahnya. Beberapa kali, anjing-anjing menggonggongi saya lantaran area halaman Banua yang saya lewati tampak seperti area privat. Jumlah anjing lumayan banyak di tempat ini. Tak terasa, hari sudah menjelang siang dan perut saya sudah berbunyi. Sudah saatnya saya mengakhiri kunjungan di Balla Peu. Sudah cukuplah saya menikmati keindahan arsitektur Mamasa dalam deretan rumah-rumah adat ini. Saya memohon diri untuk kemudian bergegas menuju motor pak ojek yang akan membawa saya kembali. Hmm...kembali, saya harus menjalani rute yang melelahkan itu tadi? Tapi kalau nggak lewat jalur itu, pulangnya lewat mana donk?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
luar biasaa... rumah-rumah adat yang unik itu benar-benar membuat saya terpesona. oh ya, itu ada anak2 berseragam SD, apakah di dekat situ terdapat sekolah? adakah SMP atau SMA?
ReplyDeleteHehehe...itu yang saya nggak tahu, Mas Tri. Anak-anak tersebut adalah anak-anak Desa Balla Peu yang masih mengenakan seragam sekolah mereka masing-masing. Harusnya, di sekitar sini terdapat sekolah yach, hanya saja saya tidak tahu dimana letaknya. Letak sekolah mereka bisa saja sangat jauh karena sewaktu perjalanan pulang, saya bertemu sejumlah anak beramai-ramai mendaki bukit dalam pakaian seragam sekolah mereka. Sudah jamak deh kalau di tempat terpencil seperti ini, sekolah-sekolah letaknya berjauhan dengan desa-desa. Kasihan :(
ReplyDeleteMas..emang beautiful place...Oktober kemarin kami trekking dan singgah di tempat tersebut ..unik juga apalagi disekitarnya viewnya sangat indah.Mudah2an proyek jalannya cepat selesai jadi tempat ini reachable ..bravo mas..sdh expose this village...
ReplyDeleteHehehehe....segala kesulitan perjalanan menuju kesana langsung buyar terbayarkan karena indahnya pemandangan disana :D sepanjang perjalanannya juga indah sich :p
ReplyDeleteyup, mudah2an proyek jalannya lekas selesai sehingga para pengunjung ga perlu terpental2 di atas motor sebelum mencapai Balla Peu ini...hehehehe
Thanks Arie sudah datang berkunjung :)
terima kasih atas informasi ini, saya baru tahu sekarang, ternyata kalau mengukir sebuah rumah harus sesuai dengan penempatan sehingga orang yang tinggal di rumah tersebut tidak terkena tulah atau rejekix kandas. terinspirasi.
ReplyDelete