Saya terburu-buru bangun pagi, mandi dan sarapan di Hotel Al Salam II. Sesuai perjanjian sebelumnya, pagi ini hotel akan dipakai oleh sejumlah peserta seminar kegiatan pemerintah daerah sehingga saya harus angkat kaki sesegera mungkin dari hotel. Hahaha. Gak selebay itu sich, saya masih dikasih waktu agak santai koq. Saya masih diberi waktu untuk check out selepas pukul 7. Sarapan pagi itu adalah roti panggang dengan isian selai dan kopi/teh. Lumayan, untuk rate Rp. 60.000/orang/kamar (kalau berdua Rp. 75.000) harga kamar di hotel ini luar biasa murah. Asyiknya lagi, saya nggak usah repot-repot mencari sarapan pagi. Nah, perkiraan saya, saya akan tiba di Mamasa pada malam hari dengan kecepatan seperti ini. Rute jalur darat yang akan saya lalui hari ini adalah Sengkang-Pinrang-Polewali-Mamasa. Sengkang - Pinrang kurang lebih membutuhkan waktu 2 jam. Pinrang - Polewali 3 jam. Polewali - Mamasa sekitar 4-5 jam. Jangan lupakan faktor angkutan umum yang saya gunakan yach. Angkutan umum biasanya ngetem terlebih dahulu menunggu penumpang penuh. Angkutan umum juga bisa menaikkan dan menurunkan penumpang dimana saja. Saya memprediksi, saya akan tiba di Mamasa Kota saat matahari sudah terbenam. Wah, bener-bener membuang waktu seharian di jalanan nich. Oleh karena itu saya tidak boleh membuang-buang waktu. Rencana saya pagi ini ialah berjalan-jalan berkeliling kota di pagi hari, melihat aktifitas pagi Sengkang, melihat Sungai Walannae dan menuju ke Terminal Callaccu. Rencana saya berjalan dengan baik semuanya, termasuk berfoto dengan latar Sungai Walannae dan melihat-lihat kota. Saya baru mengalami hambatan ketika tiba di terminal. Jarak terjauh yang dapat ditempuh dari Sengkang ke utara adalah Pinrang. Dibandingkan Pare-Pare, Pinrang terletak lebih di utara dan terletak dalam jalur Trans Pare-Pare - Mamuju. Akan lebih mudah bagi saya untuk berganti angkutan di Pinrang daripada harus ke Pare-Pare terlebih dahulu. Saya tiba di terminal pada pukul 8 pagi dan angkutan menuju Pinrang baru berjalan pada pukul 9. Alasannya klasik, angkutan kijang belum penuh (selama bangku depan belum diisi 2 orang, bangku tengah diisi 4 orang dan bangku belakang diisi 4-5 orang, angkutan tersebut belum dapat dikatakan penuh). Akhirnya, saya menunggu sambil terkantuk-kantuk di terminal dan mengobrol dengan beberapa warga yang sangat menyadari bahwa saya adalah seorang turis. Mereka dengan senang hati mempromosikan keindahan Sengkang serta aktifitas yang dapat dilakukan di dalamnya. Walau demikian, kebanyakan warga yang saya temui bukan warga asli Sengkang, mereka berasal dari Pare-Pare, Pinrang, maupun Polewali. Namun saya cukup senang, mereka mampu mempromosikan kegiatan yang dapat dilakukan di Danau Tempe, daerah penghasil kain sutera di Wajo serta objek-objek menarik di seputaran kabupaten. Sang supir kijang sendiri mengoceh tiada hentinya tentang kegiatan pariwisata di Sengkang. Saya sih senang mendengarnya, jadi tambah banyak masukan. Hehehe...
Label:
Sulawesi Selatan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Makasih bro telah berkunjung ke kampung kami, sampaikan keindahan Indonesia ke Dunia
ReplyDeleteSama-sama :) Sengkang itu indah dan bersahaja. Saya suka sekali, terutama saat makan ubi goreng dan minum milo dingin malam hari di tepi Sungai Walannae. Tentu, akan saya sebarkan ke seluruh dunia :)
ReplyDelete