Akhirnya, saya tiba di Terminal Soppeng. Tolong jangan bayangkan Terminal Daya dalam benak anda. Terminal Soppeng jauh dari kesan terminal ramai dan besar. Terminal ini berukuran kecil dan hanya memiliki sejumlah pete-pete yang diparkir berdasarkan rute saja. Tidak banyak aktifitas warga di tempat ini, hanya sejumlah bapak-bapak duduk-duduk di sisi terminal saja. Saya segera bergegas mencari kelelawar dan langsung menemukannya dalam tengokan pertama. Jumlah kelelawar yang terlihat rasanya lebih banyak dari jumlah penduduk yang tampak. Saya serius! Kelelawar tersebut memenuhi pucuk-pucuk pohon seperti buah-buahan. Suara mencicit mereka terdengar berisik memenuhi seantero terminal. Ajaib sekali melihat segerombolan besar kelelawar yang hidup di siang hari bolong seperti ini. Segera, tidak membuang-buang waktu saya berjalan kaki menelusuri pusat Kota Watansoppeng untuk memfoto para kelelawar tersebut. Di setiap pohon besar yang tumbuh di tengah kota, kelelawar tersebut bergerombol dalam jumlah besar dan bercicit mendesis berisik. Ajaib. Saya baru melihat yang seperti ini ada di Soppeng.
Kelelawar sejatinya adalah hewan malam (nocturnal). Mereka umumnya hidup di dalam gua atau di bawah pohon dan biasanya beraktifitas rendah pada siang hari. Karena mata mereka sangat peka akan cahaya dan ditambah dengan penglihatan yang buruk, kelelawar tidak begitu aktif pada siang hari. Mereka mengandalkan gelombang ultrasonic yang mereka pancarkan ke sekeliling agar bisa mendapatkan mangsa ataupun agar tidak menabrak benda. Walau demikian, saya melihat sejumlah kelelawar terbang membelah langit biru. Namun itu hanya sesekali saja. Sebagian besar berteduh di rimbunnya pepohonan besar yang memenuhi sudut-sudut kota. Mereka melingkupi diri mereka dengan sayap mereka. Sebagian ada juga yang memamerkan wajah mereka yang berkesan jahat dan bengis. Muka mereka merupakan perpaduan antara kelinci dan tikus, dalam wujud yang lebih seram. Sambil melingkupi tubuh mereka, mereka berderak dan mencicit, memecah keheningan siang di Watansoppeng. Anehnya, lambang utama Kabupaten ini bukanlah kelelawar. Lambang utama Kabupaten ini justru Kakaktua berjambul kuning (yellow-crested-cockatoo). Kelelawar baru tampak di bawah kakaktua tersebut seperti dua buah kain hitam.
Sembari memfoto kelelawar tersebut, saya menelusuri Kota Watansoppeng yang ternyata cukup bersih, rapih dan juga sepi. Watansoppeng memiliki masjid besar yang cantik dengan kubah kotak-kotak berwarna hijau. Watansoppeng juga memiliki sebuah Gedung Pertemuan Masyarakat yang besar dan terletak di tengah-tengah kota. Saya melihat ada sebuah Bank dan ATM Bersama di pusat kota. Nggak usah khawatir tidak membawa uang banyak kan ke Watansoppeng? Tidak banyak warga berkeliaran di pusat kota padahal kala itu tengah siang hari bolong. Entah sedang panas-panasnya atau memang warganya tidak begitu suka beraktfitas di luar rumah yach? Sejumlah kendaraan bermotor memang berseliweran, termasuk motor dan pete-pete. Sesekali, tampak bus dari Pare-Pare atau Makassar melintas dalam frekuensi yang jarang. Kota Watansoppeng sendiri dikelilingi oleh perbukitan karst yang menjulang tinggi di kejauhan. Walau demikian, ini tidak membuat suhu udara kota ini sejuk. Kembali lagi, apakah sedang tengah hari atau memang biasanya begini yach?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
ternyata soppeng kota paning pale
ReplyDelete