Hampir malam di Muncul. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore. Saran dari bapak pemilik angkot yang pertama saya tumpangi, usahakan untuk tidak mencapai jam 5 ketika mencari angkot di perlintasan ini. Alasannya klasik, keberadaan angkot akan menurun drastis seiring dengan semakin tenggelamnya matahari. Memang, jalan ruas Muncul – Ambarawa pada sore itu sangat sepi. Jangankan sore, pada siang hari saja jalanan ini sudah sepi. Oleh karena itu, anda membutuhkan kesabaran ekstra pada saat menunggu angkot yang bisa membawa anda kembali ke Ambarawa, atau Salatiga.
Untungnya, pada jam demikian, masih ada sejumlah angkot yang masih melintas. Angkot tersebut pun sudah tidak dipadati oleh penduduk lokal. Kurangnya penduduk lokal menjadikan angkutan juga terbatas jumlahnya. Saya segera menaiki angkot yang berjalan dengan santai tersebut. Di jalan raya sendiri, jumlah orang yang ingin naik angkot bisa dihitung dengan jari. Sedikit sekali. Jangan bilang bahwa saya nggak memperingatkan anda yach. Pulanglah sebelum matahari condong ke barat. Nah, saya adalah satu-satunya penumpang yang mencapai Kota Ambarawa. Para penumpang lainnya yang berjumlah tidak terlalu banyak sudah turun di desa-desa sebelum Ambarawa. Sayang, bapak supir angkot dan keneknya kurang paham akan Benteng Williem II yang terletak di pusat kota. Mereka bahkan belum pernah mendengar namanya. Beda ketika saya menyebutkan Palagan Ambarawa, mereka langsung menunjuk satu arah di tengah kota. Ya sudah, saya batal berkunjung ke Benteng Williem II dan memilih ke Palagan Ambarawa saja.Untuk jarak sekitar 15 KM, angkot tersebut menempuh waktu sekitar 30 menit. Untuk durasi demikian, saya membayar Rp. 3.000 saja.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment