Saya kembali lagi ke Tirtonadi untuk mengawali perjalanan saya di hari terakhir. Rencana saya pagi itu adalah wisata candi. Rute standar Prambanan hingga Borobudur akan menjadi rute perjalanan saya kali ini. Harapan saya, ketika malam tiba (atau sore) saya sudah mencapai Wonosobo, lebih bagus lagi Dieng! Tapi kita lihat saja nanti. Yang jelas, pagi itu saya kembali ke Tirtonadi untuk mencari bus yang akan membawa saya ke Prambanan. Bus menuju Prambanan dari Solo bisa dicari dengan mudah di terminal ini. Kali ini, saya sudah berbekal ketenangan dan kesegaran (sudah istirahat dan mandi loch...hehe) sehingga bisa menghadapi calo-calo yang berkeliaran di terminal ini. hehehe.
Seperti biasa, saya kembali dikerubungi oleh para calo. Kali ini, mereka yang kena batunya. Dandanan saya pagi itu tampak seperti turis yang berasal dari Asia Timur. Sesampainya saya di terminal, mereka langsung menyapa saya “Ni Hao Ma”, “Anyong Haseo”, “Konichiwa” dan sebagainya. Saya senyum-senyum saja. Kemudian mereka berlanjut menawarkan Borobudur atau Prambanan, dalam bahasa Inggris. Hmm...bahasa Inggris mereka boleh juga loch. They said something about beautiful temple of Prambanan and Borobudur. They could provide a rent-car to deliver me from Solo to those destinations. Namun, saya kembali menggeleng dan berkata “Saya dari Jakarta, pak”. Oalahlahlah....kecele mereka. Gegerlah sekumpulan mereka itu. Beberapa ada yang langsung bubar dan berlalu. Hmm...karena saya bukan turis asing kah? Walau demikian, ada beberapa yang masih bertahan dan tetap menawarkan kendaraan sewaan ke saya. Namun kali ini saya tolak baik-baik karena saya memang ingin menaiki bus umum saja. Saya segera berlalu tanpa menunggu mereka menawarkan lagi ke saya. Tujuan saya pagi itu adalah makan pagi!
Nggak ada pilihan pagi itu. Bukan nggak ada pilihan sich. Tapi biar siang, sore, malam, makanan yang bisa dijumpai di terminal ya itu-itu saja : nasi. Saya sempet mengelilingi deretan rumah makan yang ada di sisi terminal, namun ya pilihannya terbatas, itu-itu saja. Dari rumah makan satu ke rumah makan lain, saya hanya melihat menu : nasi rames, nasi soto, nasi pecel, nasi gudeg, nasi rendang, nasi opor dan banyak lainnya. Dari ujung, menu yang ditawarkan nggak jauh beda. Itu-itu saja. Desain rumah makannya pun hampir serupa. Jadi, tinggal asal duduk saja dan pesan makanan dimanapun, sama aja deh rasanya. Hanya saja, walau saya tiba di Tirtonadi pada pukul 7.20, waktu masih terlalu pagi untuk mereka yang tampaknya baru saja membuka rumah makannya. Mereka masih sibuk bersih-bersih dan merapikan tempat, jadi nggak terlalu fokus untuk melayani saya. Menu yang tersedia pagi itu hanya satu : nasi rames saja. Menu yang lain belum siap. Hahaha. Ya sudah, mari kita makan nasi rames saja dech.
Nasi rames yang disediakan adalah nasi dengan sayur kacang panjang, labu, wortel, oseng oseng tempe kering dan satu telur ceplok. Nasinya enak buat saya. Entah saya lapar atau memang menunya enak yach? Yang jelas, saya lahap banget tuh makan makanan ini. Hehehe. Pagi itu hanya saya saja yang makan di rumah makan itu. Mungkin kalau siang ramai kali yach? Harga nasi ramesnya Rp. 5.000, nggak terlalu beda jauh dengan menu-menu lainnya yakni mulai dari Rp. 3.000 hingga Rp. 8.000 dan minumannya Rp. 2.000 hingga Rp. 6.000. Makan di terminal sebenernya sich agak-agak mengkhawatirkan saya. Posisi rumah makan ini tepat menghadap ke terminal kedatangan yang pastinya banyak dikunjungi debu dari asap bus yang datang. Agak bahaya juga sich yach. Mudah-mudahan, karena saya makannya pagi-pagi, maka gempuran debu dan asap di makanannya nggak terlalu parah kali yach? Makanan-makanan ini memang dibuat pada pagi hari dan diproduksi dalam jumlah banyak. Makanan tersebut akan disimpan hingga siang bahkan kadang-kadang, sore.
Seusai makan, saya langsung menuju peron keberangkatan. Uniknya Terminal Tirtonadi adalah ia memiliki dua peron keberangkatan, peron barat dan peron timur. Anda harus tahu, dimana arah kota tujuan anda berada dibanding Surakarta. Gambaran umumnya, peron timur digunakan untuk bus-bus yang berangkat ke Madiun, Kediri, Malang, Surabaya, Wonogiri dan Sragen. Sementara itu, peron barat digunakan untuk bus-bus yang menuju Semarang, Yogyakarta, Pekalongan, Cirebon, Tasikmalaya, Bandung, Jakarta, Bengkulu, dan Palembang. Buta geografi? Anda bisa tanya kepada petugas sekuriti yang berjaga di masing-masing peron keberangkatan. Cerita unik saya belum berhenti sampai disini saja. Hampir memasuki peron barat, saya disambut a la turis Asia Timur (lagi!). Saya lalu diajak mengobrol dan ditawari angkutan untuk menuju Prambanan. Ketika saya mau membeli minuman ringan di salah satu toko pun, orang tersebut tetap dengan setia menemani saya dan membantu mengambilkan minumannya untuk saya. Hmm...saya jadi malah merasa aneh karenanya. Ia terus saja merocos dengan bahasa Inggrisnya untuk menawari saya kendaraan. Barulah, setelah saya mengatakan bahwa saya ingin ke Prambanan dengan bus umum dalam Bahasa Indonesia yang cukup jelas, baru ia mundur teratur dan terlihat tidak begitu berminat lagi kepada saya. Untunglah! Untungnya juga, di peron keberangkatan, sudah tersedia satu buah bus jurusan Yogyakarta dengan tulisan “Prambanan” besar di sisi depan bus. Baru saja saya mau menuju bus tersebut, langsung datang kenek yang dengan semangat menarik saya untuk memasuki busnya. Wuih...iya pak, nggak usah ditarik begitu juga saya akan masuk bus ini koq. Jadi, yach, disinilah saya berada, di dalam bus Prambanan jurusan Solo – Yogyakarta.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment