Lagi seru-serunya bertandang ke Candi Borobudur, tiba-tiba langit mulai menangis. Alam menampakkan keperkasaannya. Hujan pun dicurahkan dengan sangat lebat dari langit. Memang sich, dari awal kedatangan saya ke Muntilan pun, langit sudah tampak mendung, padahal siangnya di Prambanan cerah benderang dan panas menyengat loch. Ketika sampai di Borobudur, saya lebih was-was lagi, lantaran awan mendung semakin banyak dan suhu turun dengan drastis. Ketika saya memanjat sampai puncak tertinggi Borobudur, saya memang harus waspada lantaran awan mendungnya menyelimuti seluruh bagian langit yang bisa saya lihat. Pegunungan yang terdapat di sekitar Borobudur tampak digelayuti awan mendung gelap dan tebal. Benar saja, lagi seru-serunya, wisatawan berpose dan berfoto, hujan pun turun. Kaburlah semua pengunjung.
Saya termasuk yang kabur tersebut. Maklum, Borobudur tidak memiliki penaung hujan ataupun panas kecuali beberapa gapura antar tingkatan yang memiliki kanopi kecil di atapnya. Banyak turis yang bernaung di bawahnya. Namun, karena kanopi tersebut berukuran kecil, banyak pula yang tetap terkena hempasan air hujan, mereka pun memilih kabur ke tingkat di bawahnya atau kembali sama sekali ke pintu masuk. Tepat satu jam saya berada di Borobudur, saat itu jam 4 sore. Borobudur tutup jam 5 dan saya masih belum puas menikmati keindahan Candi Buddhis terbesar di dunia ini. Saya yakin, sejumlah turis pun demikian, banyak yang masih memilih berteduh di gapura antar tingkatan ketimbang pulang. Beberapa turis malah cukup nekad hujan-hujanan, padahal hujannya lebat dan lama. Tidak ada tanda-tanda akan berhenti sama sekali. Huaaaa...gimana ini? Kapan lagi bisa ke Borobudur?
Solusi muncul dari sejumlah petugas lapangan Borobudur. Mereka membawa payung warna-warni. Satu petugas bisa membawa hingga puluhan payung. Mereka menyewakan payung tersebut dengan harga Rp. 5.000 untuk dipakai sepuasnya di Borobudur. Jadilah saya meminjam payung tersebut dan kembali berkelana, menyusuri lorong-lorong dan mengamati relief Borobudur, di tengah hujan deras! Banyak juga turis yang melakukan hal serupa walau lebih banyak yang memilih pulang. Buat saya, ini satu keuntungan, Borobudur menjadi tidak terlalu ramai dan saya bisa mengamati detial candi ini dengan lebih leluasa, termasuk berfoto dengan leluasa tanpa terganggu ribuan turis yang lalu lalang. Walau hujan, ngeksis tetep dech, saya perlu berfoto di setiap ada kesempatan. Hehehe.
Hujan ternyata turun degan lebat dan cukup lama, untung sekali saya tidak pulang dan memilih untuk tinggal lantaran banyak sekali yang bisa saya nikmati di kala hujan deras berpetir di Borobudur. Area pelataran Borobudur di banyak tempat memang banjir dan digenangi air sehingga cukup licin, walau demikian, struktur keseluruhan Borobudur terbuat dari batu yang cukup aman untuk dipijak. Batu-batu ini tidak menjadi licin lantaran hujan. Saya memang agak kesulitan untuk berfoto lantaran harus memegang payung dan menjaga jarak aman kamera dengan air hujan. Tapi secara keseluruhan, menikmati hujan di Borobudur adalah sesuatu yang berbeda. Nah, urusan pengembalian payung bukan hal yang sulit. Saya kurang tahu, apakah mereka sudah ada pada saat menyengat atau mereka baru menyebar kala hujan melanda, saya tidak terlalu memperhatikannya. Anda tidak perlu repot-repot mencari bapak yang menyewakan anda payung, anda cukup meletakkannya di pintu gerbang keluar, tempat turis lain meletakkan payung tersebut. Payung-payung tersebut mempunyai nama dan semacam label organisasi. Mereka tampaknya adalah paguyuban pengelola jasa payung di Borobudur. Urusan pinjam meminjam payung sudah menjadi hal biasa untuk mereka. Pokoknya, jangan sampai anda bawa pulang dech payungnya, bisa-bisa anda dikeroyok. Hahaha.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment