Perjalanan Solo – Yogyakarta, dengan jarak 65 KM, berlangsung kurang lebih selama 1 hingga 1,5 jam dengan kendaraan umum. Kalau dengan kendaraan pribadi, harusnya jarak tersebut bisa dipangkas hingga setengahnya. Rute wilayah yang dilewati adalah Surakarta – Kartasura – Sukoharjo – Delanggu – Klaten – Prambanan – Kalasan – Sleman – Yogyakarta. Jalur ini hampir murni sebuah medan lurus, beraspal, dataran rendah dan tidak terlalu ramai. Walau tidak terlalu ramai, namun rute ini dilewati oleh banyak sekali sepeda motor. Terlebih pada daerah pasar, dimana keramaian mulai meningkat dibanding jalanan pemukiman biasa, anda wajib berhati-hati apabila membawa kendaraan pribadi terlebih jalur yang hampir lurus mudah sekali menyebabkan kantuk. Walau perjalanan ini melewati daerah yang sebagian besar pemukiman, jarang atau objek wisata tidak terlalu banyak ditemukan di jalur ini. Akibatnya, rumah warga, sawah, ruko, ladang, dan pasar akan membuat anda mengantuk juga pada akhirnya.
Penumpang di rute ini tidak terlalu banyak walau kenyataannya jalur ini adalah jalur yang menghubungkan Yogyakarta dengan Solo. Saya mendapat tempat duduk untuk saya sendiri sepanjang perjalanan. Sepanjang perjalanan, saya banyak mendapat penawaran mulai dari pengamen, dompet, sabuk, buku pelajaran, buku masak, alat tulis, manisan, hingga bakpia. Walaupun bukan merek bakpia terkenal, namun bapak yang tampaknya sudah berumur dan letih tersebut menawarkan bakpia seharga Rp. 2.000. Anda tahu? Bakpia seharga Rp. 2.000 tersebut berisi 10 buah per bungkusnya! Ya ampun, saya langsung nggak tega sama bapak ini. Langsung saja, saya beli 5 bungkus bakpianya dan beliau langsung sumringah dan penuh syukur. Mana ada makanan semurah ini di Jakarta? Bikin bakpia kan juga nggak gampang toh? Saya semakin tidak menyesal ketika memakan bakpianya dan ternyata enak! Saya langsung bersyukur bahwa saya membeli 5 bungkus bakpia lantaran jalur Solo – Yogyakarta yang tampaknya hanya lurus saja, membosankan, dan seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Sambil menikmati perjalanan, mulut saya nggak berhenti mengunyah bakpia untuk mengganjal perut. Penjual bakpia murah meriah ini bisa ditemukan di wilayah Sukoharjo. Sesekali, saya tertidur sebentar di dalam bus namun terbangun kembali karena mengira Prambanan sudah dekat. Sayangnya, sang kenek belum sekalipun meneriakkan kata “Prambanan”.
Sembari jalan, saya selalu memperhatikan papan petunjuk jalan yang kerap kali bertuliskan “Prambanan” arah atas, bersama dengan Yogyakarta dan Klaten. Setelah melewati Klaten, sesekali tulisan “Kotagede” muncul di papan petunjuk jalan tersebut. Saya agak sedikit hilang orientasi lantaran jalur yang luar biasa lurus saja. Petunjuk perjalanan saya hanyalah tulisan-tulisan di kota/desa yang saya lewati. Sayangnya, tidak semua kota/desa memiliki petunjuk yang jelas akan idetitas kota mereka. Terkadang, sejumlah toko atau papan tidak mencantumkan alamat yang jelas. Jadi, saya harus memperhatikan benar-benar satu persatu papan yang memiliki informasi alamat. Suatu ketika, ketika saya sudah mulai dilanda kebosanan, saya melihat papan-papan merek dan reklame di tepi jalan sudah bertuliskan “Prambanan” atau mengandung kata “Candi”. Hmm...apakah saya sudah di dekat Prambanan? Tapi koq supir maupun keneknya nggak ngasih tahu saya yach? Saya pun melihat sebuah lapangan besar di tepi kanan jalan yang dirindangi dengan pepohonan. Hmm...tempat apakah itu? Saat itu, kenek pun tidak meneriakkan kata “Prambanan” lagi, namun sudah berganti “Yogya”. Hmm...ada yang nggak beres nich. Bus yang masih terus melaju melewati semacam gapura besar di tengah jalan raya pun tidak menghentikan saya untuk segera menuju ke depan, ke tempat kenek. Bus akhirnya berhenti di sebuah pasar dan saya bertanya masih jauh atau tidakkah Candi Prambanan? Sang kenek langsung tampaknya baru mengingat sesuatu. Ia buru-buru menunjuk lapangan besar yang tadi sudah lewat dan mengatakan “Itu Prambanan”. Wow. Dalam panik, saya buru-buru minta turun agar Candi Prambanan bisa dicapai dengan berjalan kaki saja. Waduh, si bapak kenek nggak konsen nich. Untung saja saya masih tidak terlalu jauh dengan candi. Saya masih di Pasar Kalasan. Gimana coba kalau sampai kebablasan? Runyam dech acara kunjungan candi ke candi. Hehehe.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
hehe, di prambanan kan ada terminal bisnya,yang juga merupakan salah satu terminus trans jogja. atau kamu gak sekalian ke candi kalasan aja mumpung udah terdampar di pasar kalasan?
ReplyDeleteintinya: ditunggu postingan berikutnya :)
betul sekali! tepatnya di Pasar Kalasan. Hehehe. Sayangnya, saya nggak ke Kalasan karena mengejar Borobudur. hehehe. Kali lain dech yang waktunya sangat banyak, saya mau wisata candi-candi minor. hehehe...
ReplyDelete