Terboyo, Terminal Besarnya Semarang


Setelah mandi dan dua potong roti panggang berselai meluncur bebas ke dalam lambung saya, saya siap untuk melanjutkan perjalanan saya ke Kudus. Pagi itu, Semarang Utara masih dilanda banjir. Walau tidak separah kemarin malam namun genangan pada pagi ini sudah cukup merepotkan. Saya harus mengganti sepatu saya dengan sandal agar tidak basah sewaktu melewati genangan semata kaki di depan hotel. Ribetnya lagi, hampir seluruh jalan keluar dari wilayah ini terkepung banjir. Beberapa sudut ada yang berair cukup dalam dan tak mungkin dilintasi dengan kaki. Dengan becak? Bisa saja sich tapi tujuan saya hanya sepotong jalan di dekat Tawang sana. Sayang sekali donk kalau kesana naik becak? Daripada repot-repot menawar, maka saya memutuskan untuk berjalan kaki saja, mengikuti rute yang aman. Oh yah, dalam perjalanan ini, saya menemukan sepotong jalan yang berisi banyak gereja, sekolah dan panti asuhan bernuansa Katolik dengan gaya bangunan Eropa Barat. Nama jalan ini adalah Jalan Ronggowarsito. Jalan ini tampaknya adalah salah satu jalan yang cukup elit di Kota Semarang ini. Yang menyenangkan, jalan ini tidak dilanda banjir sama sekali (namun saluran airnya penuh!) sehingga saya bisa menempuh jalan ini untuk mencapai wilayah di depan Tawang demi mencari bus. Sambil berjalan, mata saya nggak henti-hentinya mengamati aneka bentuk bangunan unik yang menawan. Nggak lupa, saya berfoto-foto juga donk.
Sambil menunggu bus yang akan membawa saya ke Terminal Terboyo, saya mengamati banjir yang ternyata sudah sangat merajalela di wilayah ini. Ada satu ruas jalan arah pelabuhan sana (penuh dengan areal peti kemas) yang tidak terlihat sama sekali rupanya. Yang saya lihat hanya air saja. Menakjubkan! Sebuah becak dengan 3 orang penumpang berjibaku menembus genangan air yang luas tersebut. Penduduk sekitar tampaknya telah sangat terbiasa dengan air laut yang menggenangi daratan ini. Bus-bus yang melintas menderu-deru menyebabkan ombak bergulung-gulung di sekitar genangan air mahaluas tersebut. Saya sampai takut menyebrang lantaran takut terbawa ombak. Hahaha. Untungnya hampir semua bus yang melintas di tempat ini menuju ke Terminal Utama Terboyo. Anda tinggal memilih, mau naik bus kecil atau bus besar, bus AC atau non AC. Berhubung saat itu matahari Semarang tidak terlalu menyengat (tapi saya bercucuran keringat) karena tertutup awan, maka saya naik bus tanggung yang non AC. Bus tersebut agak kosong. Mungkin karena sudah mau masuk terminal kali yach?
Eh, saya salah. Saya pikir dari Tawang, Terboyo sudah dekat. Ternyata, jaraknya masih lumayan. Saya melewati aneka jenis jalan hingga ke terminal. Aneka macam penumpang masih naik dan turun. Saya melewati area pinggir tol dan sepotong papan petunjuk jalan yang bertulisan arah lurus menuju Demak dan Surabaya. Ow, saya sudah mau keluar dari kota ternyata. Tepat ketika saya kira bus ini akan langsung menuju Kudus (harapan saya sich. Hehehe ), ternyata bus berbelok dan masuk ke dalam terminal. Terminal Terboyo adalah terminal yang cukup ramai dan sibuk. Saya sampai bingung dibuatnya. Mana sang kenek tidak terlalu membantu dengan mengatakan, “Cukup berjalan saja menyusuri sisi terminal”. Whew. Untungnya, ada seorang ibu yang baik hati yang mengatakan bahwa ia juga akan berangkat ke Kudus. Ibu itu menawarkan apabila saya mau, saya bisa mengikutinya dari belakang. Wow. Ya sudah, saya juga nggak melihat ibu ini berpotensi jadi orang jahat koq. Saya ikuti saja. Ketika sampai di peron keberangkatan, saya belum menyiapkan uang sekalipun, ibu itu langsung membayarkan tiket masuk saya. Wow lagi! Memang sich, uang tersebut nggak seberapa lantaran biaya peron hanya Rp. 200 per orang. Bukan Rp. 200.000 yach, tapi Cuma RP. 200 perak ajah! Tapi kebaikan dan spontanitas ibu itu yang membuat saya terharu. Halah. Hehehe. Akhirnya sesampainya di dalam areal terminal keberangkatan, ibu itu segera menunjuk salah satu bus yang menuju Kudus. Saya bertanya balik kepada ibu tersebut, “Ibu juga naik bis yang sama?”. “Oh, jangan kuatir, saya mah gampang”, kata beliau. Ya sudah saya tidak memperhatikannya lagi sebab ibu itu mempersilahkan saya untuk naik duluan. Hmm...ternyata dia tidak naik bis yang sama dengan saya. Ia naik bus yang berbeda. Mungkin tujuan berbeda kali yach? Wah, saya nggak sempat bilang makasih atau apapun dan dia sudah menghilang. Semoga amal ibadahmu diterima di sisi Tuhan YME yach Bu. Loch? Semoga engkau mendapat karunia dan rahmat karena kebaikanmu yach bu. Hehehe.
Tips dari saya hanya satu : Jangan pernah masuk Terminal Terboyo kalau anda terburu-buru. Anda pasti akan dongkol dan keki dibuatnya. Walaupun cara ini sedikit melanggar aturan yang diterapkan, namun kenyataannya, banyak sekali bus yang berkumpul di areal pintu keluar terminal. Inilah Terminal Terboyo bayangan yang justru lebih banyak menjadi magnet pengunjung Semarang ke luar kota. Tidak urung kehadiran bus-bus ini membuat macet ruas jalanan Semarang ke luar kota seperti Demak, Jepara dan Kudus hingga ke Surabaya. Pihak Terminal Terboyo pun berkali-kali menyerukan hal ini melalui megafon yang terdapat di pintu keluar agar penumpang tidak menunggu bus di pintu keluar terminal agar tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Kenyataannya, banyak sekali yang memanfaatkan tersendatnya arus di depan terminal untuk menaiki bus jurusan yang mereka inginkan. Terlebih lagi, di depan terminal terdapat sejumlah warung penjualan makanan dan minuman beserta kedai makan dan tempat duduknya. Makin nyaman saja donk orang-orang menunggu di tempat ini? Yah, inilah solusi untuk anda yang ingin cepat dan tidak mau berlama-lama di dalam Terminal Terboyo. Tunggu di luar terminal saja, banyak orang sudah mengetahui cara ini koq.
Satu hal lagi yang membuat saya cukup kaget dengan Semarang adalah pengamennya. Ternyata Semarang memiliki jumlah pengamen yang lumayan juga. Selama masa penantian saya di terminal hingga bus berangkat meninggalkan Semarang di kecamatan Genuk, pengamen tak henti-hentinya naik turun memamerkan aksi mereka dan tak lupa meminta ‘penghargaan’ atas hasil karya mereka. Beberapa pengamen ada yang potongannya cukup sangar sehingga memancing rasa takut apabila tidak diberi. Beberapa ada yang menyanyikan tembang-tembang Jawa dan lagu pop Jawa. Beberapa lagi ada yang bersuara cukup bagus dalam menyanyikan lagu-lagu lama jadul a.k.a nostalgia hingga saya rela memberikannya Rp. 1.000. Namun, dari semua itu ada beberapa penyanyi yang menyanyikan lagu yang sama. Ini yang paling menyebalkan. Entah ini merupakan himne pengamen Semarang atau apa (Jakarta juga memiliki lagu yang khas dibawakan oleh pengamen loch), namun lagu tersebut dinyanyikan tiga hingga empat kali oleh pengamen yang berbeda-beda (padahal, saya bahkan belum keluar dari Terminal Terboyo!). Lagu unik tersebut sampai membuat kesal mbak-mbak yang duduk di sebelah saya. Dalam bahasa Jawa ia bergumam yang kurang lebih artinya “Lagu-nya sama koq diulang-ulang terus”. Begitu saya iseng-iseng bertanya akan lagu mars pengamen ini, ia langsung mengatakan bahwa semua pengamen di Semarang rata-rata bisa menyanyikan lagu ini. Hahaha. Saya sich nggak bisa menuliskan ulang syair lagu ini. Namun kalau anda ke Semarang, bisa jadi anda mendapatkan kesempatan (dan kehormatan) untuk mendengarkan lagu ini. Hihihi.

4 komentar:

  1. gedung SD gw tuh difoto wkwkwk

    baru tau ada mars pengamen semarang..hmmmm....

    ReplyDelete
  2. Wara SD-nya disana? gedungnya bagus bagus yaaaa

    iya tuh, taunya juga dari mbak yg duduk di sebelahku...hihihi

    ReplyDelete
  3. Kok nga ngebahas Masjid Agung Jawa Tengah. Ini bangunannya unik, dan sekarang menjadi salah satu tujuan wisata religi di Semarang. Banyak yang mengunjungi Masjid kebanggaan Jawa Tengah ini, terutama untuk melihat tenda raksasanya membuka dan menututp (seperti di Masjid Nabawi di Madinah). Yang datang-pun nga cuma warga muslim.

    ReplyDelete
  4. Semarang kaline banjir, ora sah sumelang ora sah dipikir. Hehehe... Di Terminal Terboyo Semarang saya menemukan kebaikan hati yang tak tertandingi di daerah manapun sampai kapanpun, karena ini berkaitan dengan preman-preman yang kabarnya sudah putus urat baik tersebut. Alkisah, di penghujung 90-an, saya ada urusan kerja di Surabaya. Tiket pesawat untuk pulang sudah siap, sayangnya saya ketiduran :(. Karena pagi-pagi betul saya ada acara di Semarang, jadi tak mungkin saya naik travel yang berangkatnya malam dan bisa lebih dari jam 7 (soalnya rumah saya masuk rute paling akhir pengantaran travel). Tak ada pilihan selain naik bis dan saya mengabari Bapak saya mengenai hal ini. Beliau langsung cemas karena menurut perkiraan bis tiba di Semarang sekitar jam 12 malam. Benarlah perkiraan tersebut. Lebih sial lagi, baru sekitar 3 kilo keluar dari rumah ban mobil Bapak gembos. Akhirnya terpuruklah saya di terminal, sementara para penumpang satu demi satu telah menghilang. Jam sudah menunjukkan 01.00 lebih. Dan di sekitar saya hanya ada mas-mas terminal yang badannya hampir semua penuh tato dan muke-muke lecek gitu. Sumpe, seumur-umur saya nggak pernah setakut itu. Bayangkan, di terminal yang maha luas, saya dengan penampilan kinclong kayak Cina (cakep lagi, hehehe...), berada di tengah-tengah preman terminal. Tau kan apa yang saya maksud? Waktu rasanya berjalan begitu lambat. Saya cuma duduk mematung dengan wajah kecut. Tangan saya sampai berkeringat, dan jari serta bibir saya gemetar saat saya menghisap rokok. Halah. Saya cuma membatin, "Modar aku nek diparani (mampus aku kalau dihampiri)". Haduh, ternyata benar! Satu di antara mereka menghampiri, dan saya benar-benar nyaris pipis di celana. Ternyata dia bilang begini dengan suara keras, "Wah, mbak-e ayu merit rokok-e Dji Sam Soe!" (Wah, mbaknya cantik langsing rokoknya Dji Sam Soe). Nyali saya masih ciut, jadi saya tetap tersenyum masam. Begitu mendengar seruan tersebut, rekan-rekan sang preman mendekati saya dan mengajak ngobrol. Entri poinnya adalah: kok Samsu sih, Mbak? Kok enggak rokok mil (catat ya,'mil' bukan 'mild' :) )?". Dan akhirnya mereka malah menemani saya ngobrol ngalur ngidul sementara menunggu bapak yang baru datang satu jam kemudian. Bahkan seorang dari mereka membuatkan saya kopi dan menawari Dji Sam Soe, soalnya punya saya tinggal 2 batang. Puji Tuhan, saya benar-benar tak menyangka bukan hanya selamat dalam kondisi sangat kritis ini, melainkan lebih daripada itu malah mendapat teman berbincang yang baik-baik. Padahal mereka bisa saja melakukan apapun pada saya. Itulah kisah kebaikan hati yang tak tertandingi yang saya dapat dari orang tak dikenal selama hidup ini. Bapak saya yang datang dengan wajah luar biasa cemas langsung berubah lega, dan beliau menyempatkan diri mengobrol barang sepenghisapan satu batang Dji Sam Soe sebagai rasa terima kasih. Saat pulang, Bapak dan saya hampir serempak mengucapkan, "Matur suwun, Mas, Gusti paring berkah!" (Terima kasih, Mas, Tuhan memberkati)..

    ReplyDelete