Melihat Dari Dekat Proses Pembuatan Sambu Di Balla Timur, Mamasa

Akhirnya, saya kembali ke jalan negara dan kembali ke ruas Balla - Mamasa. Sebenarnya, ini waktunya saya dan pak supir ojek mencari makan. Tapi apa daya, menemukan rumah makan di poros jalan ini sangat susah. Motor kami hampir tidak berhenti sama sekali di ruas ini lantaran tidak menemukan sama sekali rumah makan yang buka dan menjual makanan. Di satu sisi, wilayah sekitar yang merupakan hutan dan pegunungan memang tidak memungkinkan untuk berdirinya rumah makan berdiri di sana-sini. Terlebih, dengan jarangnya turis yang berkunjung dan rata-rata rumah tangga memproduksi makanan sendiri, maka rumah makan umum memang sesuatu yang agak janggal ditemukan. Dalam pencarian rumah makan, motor bapak supir ojek berhenti di sekitar Desa Balla Timur. Ternyata, ia menangkap satu sosok ibu sedang membuat Sambu, sarung khas Mamasa yang ditenun secara manual. Ia mengajak saya untuk masuk ke dalam toko dan meminta ijin sang ibu untuk melihat proses pembuatan Sambu.

Di sebuah warung yang berjualan sabun, sampo dan keperluan sehari-hari di Desa Balla Timur, saya bertemu ibu ini. Ibu ini sedang asyik menenun Sambu, sarung khas Mamasa dengan cara tradisional. Peralatannya pun cukup sederhana dan tidak menggunakan mesin, hanya sejumlah kayu dan bambu saja. Sebenarnya, bayangan saya akan tenunan Sambu tidak seperti ini. Saya membayangkan Sambu ditenun beramai-ramai dengan mesin yang besar. Ternyata, Sambu umumnya ditenun dengan peralatan sederhana seperti ini dan bisa dilakukan seorang diri. Yang membuat saya agak terkejut, benang untuk Sambu bukanlah benang tradisional hasil produksi sendiri namun justru benang pabrikan yang sudah tersedia di dalam kotak-kotak. Kata sang ibu, sudah hampir tidak ada lagi penenun Sambu yang menggunakan benang asli alam. Kebanyakan, benang tenunan untuk Sambu menggunakan benang pabrik yang mudah didapat dan ternyata cukup murah harganya. Ia menambahkan, benang alami buatan sendiri membutuhkan waktu lebih lama dan harga yang lebih mahal. Ia tidak akan mampu menjual Sambu yang terlalu mahal lantaran bahan bakunya sudah mahal.
Hasil tenunan Sambu sang ibu ternyata sudah cukup panjang dan diikatkan ke langit-langit rumah. Ibu menenun Sambu dalam rentang pendek, selebar bambu dan kayu yang digunakan -kira-kira serentangan lengan ke lengan-. Hasil tenunan Sambu yang sangat panjang tersebut nantinya akan dipotong-potong dan kemudian dijahit hingga membentuk sarung yang panjang. Nah, saya penasaran nich disini. Saya bertanya kepada ibu penenun tersebut, mengapa tidak menenun Sambu yang lebar saja alih-alih panjang, jadi hasil tenunan tidak perlu disambung lagi. Pertanyaan saya disambut oleh derai tawa masyarakat lokal yang menonton saya, alih-alih menyaksikan sang ibu menenun. Sang ibu pun menjawab sambil tertawa tersipu-sipu. Ia menjawab, “tidak mungkin membuat Sambu yang lebar karena alat yang tersedia tidak panjang”. Selain itu, ia juga akan kerepotan kalau alatnya panjang. Alat yang berukuran pendek memudahkan ia menenun Sambu secara cepat. Hehehe.
Sambu dipercaya bisa mengusir hawa dingin pegunungan di Mamasa dan banyak digunakan dalam acara adat di Mamasa. Sambu, sebagai kain adat memiliki ketentuannya sendiri, misalnya putih yang disebut Sambu Bembe adalah jenis Sambu tertinggi dalam kasta Orang Mamasa. Warna lainnya banyak dipakai dalam masyarakat pada umumnya. Pada jaman dahulu, warna putih umum digunakan pada kalangan bangsawan saja. Namun, pada masa kini pembauran warna sudah terjadi. Warna putih maupun warna lainnya banyak digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat di Mamasa. Hasil tenunan Sambu umumnya bermotif sama, dengan warna dominan berada di pinggir dan corak berada di tengah. Misalnya pada saat saya mengunjungi sang ibu penenun, ia menenun Sambu warna merah yang umum ditemukan dan dipakai di Mamasa. Ia juga menunjukkan salah satu Sambu lainnya yang sudah berhasil diselesaikan. Sambu itu berwarna ungu.Proses penenunan Sambu bisa berlangsung selama satu bulan apabila dikerjakan dengan santai dan di kala senggang. Namun, apabila dikebut dan tidak menjalankan tugas lain, satu sarung Sambu bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu saja. Untuk satu buah sarung Sambu utuh, harga jualnya berkisar antara Rp. 150.000 hingga Rp. 400.000. Postur tubuh si ibu pun harus benar-benar terjaga dalam posisi huruf L dengan kaki menekan sebuah balok penahan Sambu. Cukup meletihkan melihat sang ibu membuat sebuah Sambu. Sayang, saya nggak mencoba untuk membuatnya karena sang ibu juga sedang sibuk tak bisa saya ganggu. Kalau ada waktu panjang, kayaknya seru juga yach belajar membuat Sambu. Bagi yang mau liat proses pembuatan Sambu beramai-ramai, anda bisa mencarinya di Buntu Kasisi, dekat dengan perbatasan Mamasa Kota. Di tempat ini katanya ada sejumlah ibu-ibu yang menenun secara tradisional. Sayang, saya nggak mencapai tempat ini lantaran keterbatasan waktu.

5 komentar:

  1. mas lomar, itu nyewa ojeknya berapa duit diajak keliling seharian?

    ReplyDelete
  2. 100.000 Mas. Mahal sich, tapi ini disebabkan jalanan yang ruarrrrr biasa hancur, becek hujan semalam dan kubangan dimana-mana. Kesian juga si bapak ojeknya harus cuci motor ekstra sehabis mengantarkan saya :(

    ReplyDelete
  3. thank you so muuuuch sdh mjd duta u/ kampung sy sendiri...i hope u enjoy ur holiday there....oohh ya dsna baxh air panas asli!! bkn hax pmandian tp jg sungaix air panas..... makasiiii..... i loveeeeee it sooooo much...sukss sll GBU

    ReplyDelete
  4. Halo Utiet :)

    Terima kasih sudah datang bertandang ke blog sederhana saya. Duh, Mamasa indah sekali. saya rindu untuk bisa kesana lagi. hehehehe. Iya, saya sempat mencoba Kole, walaupun tidak mencobai Mesa Kada. Mungkin laen kali :)

    Terima kasih sudah datang berkunjung. Sukses selalu dan GBU too :)

    ReplyDelete